Pilpres berlanjut 2 putaran, diikuti oleh Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan rivalnya Megawati Soekarno Putri-Hasyim Muzadi.
Pemilihan putaran ke dua saya ke TPS. Saking kesalnya, capres pujaan tidak lolos ke putran ke 2, sampai di bilik suara foto kedua paslon saya bolongi sebesar telur puyuh.
Betapa gilanya saya. Dasar emak-emak kampung, buta politik. Saat itu usia belum terlalu tua, tetapi muda terlewati. Namun antusiasme masih menggelora, lugu pula. Bila teringat peristiwa tersebut saya malu pada diri sendiri.
Persaingan dimenangkan oleh pasangan Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Tetapi, sepatah kata pun saya tak pernah mengeluarkan kata tak suka kepada Pak SBY. Teman dan kerabat yang beda pilihan pun tak pernah tahu apa yang ada di benak saya tentang presiden terpilih.
Kegalauan saya hanya beberapa saat. Akhirnya hati ini menerima kekalahan sang jagoan dengan legowo. (sok ... berpolitik. Memangnya nenek ini siapa, he he ...). Meskipun saya berguling-gulung sambil makan tanah, Pak Amien Rais tak akan datang menghibur saya.
Periode kedua pemerintahannya, SBY bergandengan dengan Boediono. Pak Amien Rais mulai nyinyiran parah. Sering bermanuver, melancarkan kritik yang kurang enak didengar telinga. Perlahan kekaguman saya padanya tergerus.
Kelakuannya semakin menjadi-jadi selama pemerintahan Pak Jokowi-JK. Tepatnya semenjak dia bergabung dengan kelompok oposisi. Akhir tahun 2014 nama yang sempat menggelegar pada pertengahan tahun 1998 ini resmi saya copot dari daftar pemimpin yang paling saya kagumi.
Sikap ini lahir dari lubuk hati saya yang paling dalam. Bukan tersebab saya dan beliau beda pilihan capres. Tetapi saya tak suka dengan tindakan dan manuver politiknya. Katanya mengkritik agar pemerintahan tak salah arah. Tetapi kontradiktif, cendrung membuat kami rakyat kecil ini khawatir akan terjadinya kekacauan di negeri tercinta ini.
Mohon maaf pada Pak Amien Rais dan pendukungnya. Saya tidak membenci beliau. Hanya tidak suka tindak tanduknya dalam mengkritik pemerintah. Bagaimanapun seorang Amien Rais adalah putra terbaik bangsa. Berkat kecerdikannya berpolitik, Indonesia  berhasil mereformasi total sistim pemerintahan menjadi lebih baik. Demokrasi maju pesat. Sampai-sampai nenek tua seperti saya juga bebas menuangkan uneg-uneg melalui tulisan di kompasiana.
Coba zaman Orba! Mungkin saya tak dikasih uang pensiun. Atau minimal dipenjara barang sebulan dua bulan sebelum akhirnya bertekuk lutut, mengakui bahwa tidak lagi mengaupdate tulisan yang bernada kritik di kompasiana.
****