Tanjung Batang Kapas, Inderapura adalah tanah kelahiran yang telah saya tinggalkan merantau selama 43 tahun. Di sana mengular sebuah sungai dari timur ke barat. Secara administratif orang mengenalnya sungai Inderapura.  Sungai ini adalah saksi bisu bagaimana saya menjalani hidup dan kehidupan ini, mulai lahir sampai remaja. Di sanalah dahulu  saya dan teman-teman kecil mandi berengang, mencuci, dan menangguk udang.
Tanggal 09 Januari yang lalu saya berkesempatan pulang. Saya kaget. Kondisinya telah  berubah. Lebarnya, kebeningan airnya,  jauh berkurang dari kondisi setengah abad yang lalu. Dan yang mencemaskan, posisinya bergeser jauh ke arah selatan mendekati pemukiman penduduk. Kurang lebih  40 meter dari dapur orangtua saya.
Tiba-tiba saja saya merindukan perahu dayung, seperti yang sering saya kemudikan semasa remaja dahulu. Bersama teman-teman gadis kampung, menghiliri sungai untuk mencari kayu bakar atau mencari sayuran kangkung yang tumbuh liar di persawahan  kampung nelayan Pasir Ganting. Hati kecil ini bertanya, masih mampukah saya melakukannya.
Ah, hayalan saya  kuno bin naif.  Untuk apa kayu bakar. Warga telah beralih ke gas LPJ. Ke Pasir Ganting tak perlu lagi naik perahu. Akses jalan darat sudah tersedia, meskipun belum tesentuh aspal, becek di musim hujan berdebu saat kemarau.  Setidaknya sudah bisa dilewati mobil karena didukung  infrastruktur  jembatan besar dan kecil.
Kini, SD dan SMP tersedia lengkap. Jumlah gurunya  cukup. Puluhan anak-anak telah menyelesaikan pendidikannya di SMA. Lulusan sarjana pun sudah banyak. Pendek kata, Pasir Ganting tidak lagi negeri  terosilir. Listrik mengalir ke seluruh kampung, jaringan seluler lumayan lancar.
Bagi perusahaan perkebunan pemilik modal seperti  PT  Incasi Raya,  berapa  pun harga sawit  tidak berdampak apa-apa. Sebab, mereka menjualnya dalam produk olahan, dan  bermain di pasar internasional. Yang terjepit petani level bawah,  yang menggantungkan suapnya  pada pohon sawit. Â
"Tolong sampaikan kepada pemerintah, Bu. Minta dinaikkan harga sawit. Agar hidup kami sejahtera dan mampu menyekolahkan anak," kata salah seorang petani sawit Inderapura saat saya ajak berbincang seputar masalah persawitan. "Dulu pernah harganya jatuh ke Rp 500. Kami memilih tidak panen. Lebih baik membiarkan dia di pohonnya, kering dan rontok sendiri," tambahnya.
Saya hanya bisa tersenyum dan menjawab, "Okey."  Mungkin pria yang tak mau desebutkan namanya ini menganggap kompasianer seperti saya dapat menyuarakan kegundahan masyarakat  lapisan akar rumput seperti dirinya.
Beginilah potret kampung kecil Tanjung Batang Kapas dan Pasir Ganting Inderapura, dari zaman ke zaman. Berkat usaha semua pihak, masyarakatnya terbilang berhasil menikmati pembangunan di banyak aspek. Namun untuk menyejahterakan kehidupan pribadi dan kelompok, mereka terkendala oleh hal lain. Salah satunya, produk pertanian mereka belum dihargai dengan tarif yang wajar.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H