Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Masyarakat Kampung Ini Tak Hirau Siapa Presiden, yang Penting Harga Sawit Naik

22 Januari 2019   22:39 Diperbarui: 22 Januari 2019   23:16 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perahu pengangkut pasir. Dokumen pribadi

Tanjung Batang Kapas, Inderapura adalah tanah kelahiran yang telah saya tinggalkan merantau selama 43 tahun. Di sana mengular sebuah sungai dari timur ke barat. Secara administratif orang mengenalnya sungai Inderapura.  Sungai ini adalah saksi bisu bagaimana saya menjalani hidup dan kehidupan ini, mulai lahir sampai remaja. Di sanalah dahulu  saya dan teman-teman kecil mandi berengang, mencuci, dan menangguk udang.

Tanggal 09 Januari yang lalu saya berkesempatan pulang. Saya kaget. Kondisinya telah  berubah. Lebarnya, kebeningan airnya,  jauh berkurang dari kondisi setengah abad yang lalu. Dan yang mencemaskan, posisinya bergeser jauh ke arah selatan mendekati pemukiman penduduk. Kurang lebih  40 meter dari dapur orangtua saya.

Perahu pengangkut pasir. Dokumen pribadi
Perahu pengangkut pasir. Dokumen pribadi
Tak terlihat seorang manusia pun merendamkan tubuhnya untuk mandi  atau mencuci. Yang tampak hanya perahu-perahu bermesin penambang  galian C mengangkut pasir.

Tiba-tiba saja saya merindukan perahu dayung, seperti yang sering saya kemudikan semasa remaja dahulu. Bersama teman-teman gadis kampung, menghiliri sungai untuk mencari kayu bakar atau mencari sayuran kangkung yang tumbuh liar di persawahan  kampung nelayan Pasir Ganting. Hati kecil ini bertanya, masih mampukah saya melakukannya.

Ah, hayalan saya  kuno bin naif.  Untuk apa kayu bakar. Warga telah beralih ke gas LPJ. Ke Pasir Ganting tak perlu lagi naik perahu. Akses jalan darat sudah tersedia, meskipun belum tesentuh aspal, becek di musim hujan berdebu saat kemarau.  Setidaknya sudah bisa dilewati mobil karena didukung  infrastruktur  jembatan besar dan kecil.

Jembatan gantung Tanjung Medan, Menghubungkan kampungan Lopon (jalan ke Pasir Ganting). Dokumen pribadi.
Jembatan gantung Tanjung Medan, Menghubungkan kampungan Lopon (jalan ke Pasir Ganting). Dokumen pribadi.
Waktu tempuh dari Tanjung Batang Kapas ke Pasir Ganting terpangkas  hingga 70%.  Dari sebelumnya 100 menit naik perahu melewati sungai, menjadi 30 menit pakai mobil atau motor.

Kondisi jalan di daerah Lopon jalur ke Pasir Ganting. Dokumen pribadi.
Kondisi jalan di daerah Lopon jalur ke Pasir Ganting. Dokumen pribadi.
Kehidupan sosial masyarakat Pasir Ganting pun berubah drastis.  Dahulu, pendidikannya jauh tertinggal. Sekolah Dasar hanya sebatas kelas tiga. Itupun hidup segan mati  tak mau, tersebab gurunya tak betah. Selepas itu, anak cowok mulai ikut orangtuanya melaut. Kalaupun  ada yang mau melanjutkan sampai lulus SD dan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka harus ngekos ke kampung-kampung  tetangga yang hanya  dapat dijangkau melalui jalur sungai.

Kini, SD dan SMP tersedia lengkap. Jumlah gurunya  cukup. Puluhan anak-anak telah menyelesaikan pendidikannya di SMA. Lulusan sarjana pun sudah banyak. Pendek kata, Pasir Ganting tidak lagi negeri  terosilir. Listrik mengalir ke seluruh kampung, jaringan seluler lumayan lancar.

SMP Pasir Ganting (kiri bercat kuning hijau, dan SD Pasir Ganting (kanan, warna krem). Sebelumnya SMP ini satu atap dengan SD.
SMP Pasir Ganting (kiri bercat kuning hijau, dan SD Pasir Ganting (kanan, warna krem). Sebelumnya SMP ini satu atap dengan SD.
Menilik negeri Inderapura secara keseluruhan, nyaris semua permukaan tanahnya ditutupi tanaman kelapa sawit. Di belakang rumah, di pinggir-pinggir sungai, apalagi di kebun. Milik perusahaan dan pribadi. Sehingga negeri yang pernah diperintah seorang raja ini dikenal sebagai daerah penghasil sawit terpenting di Pesisir Selatan Sumutera Barat.

Kebun kelapa sawit di samping rumah penduduk Lopon. Dokumen pribadi.
Kebun kelapa sawit di samping rumah penduduk Lopon. Dokumen pribadi.
Sebagian lahan yang dahulunya hutan belantara tempat harimau bersarang dan berkembang biak, telah disulap menjadi perkampungan.  Penduduknya meningkat berpuluh kali lipat. Terdiri dari berbagai suku yang berasal dari dalam dan luar Sumatera Barat. Ada juga dari luar Sumatera. Saya tak mampu lagi mengidentifikasi  dimana posisi tanah tempat orangtua saya dahulu berkebun.

Rumah Penduduk dengan latar belakang kebun Sawit. Dokumen pribadi.
Rumah Penduduk dengan latar belakang kebun Sawit. Dokumen pribadi.
Namun sangat disayangkan, kelapa sawit dihargai murah.  Berkisar 600-700 rupiah / kilo. Bahkan pernah terhempas ke Rp 500. Tak seimbang degan keringat dan cost yang dikeluarkan petani. Karena harga pupuk dan biaya operasionalnya sangat mahal.

Bagi perusahaan perkebunan pemilik modal seperti  PT  Incasi Raya,  berapa  pun harga sawit  tidak berdampak apa-apa. Sebab, mereka menjualnya dalam produk olahan, dan  bermain di pasar internasional. Yang terjepit petani level bawah,  yang menggantungkan suapnya  pada pohon sawit.  

"Tolong sampaikan kepada pemerintah, Bu. Minta dinaikkan harga sawit. Agar hidup kami sejahtera dan mampu menyekolahkan anak," kata salah seorang petani sawit Inderapura saat saya ajak berbincang seputar masalah persawitan. "Dulu pernah harganya jatuh ke Rp 500. Kami memilih tidak panen. Lebih baik membiarkan dia di pohonnya, kering dan rontok sendiri," tambahnya.

Saya hanya bisa tersenyum dan menjawab, "Okey."  Mungkin pria yang tak mau desebutkan namanya ini menganggap kompasianer seperti saya dapat menyuarakan kegundahan masyarakat  lapisan akar rumput seperti dirinya.

Bongkar muat sawit. Sumber Foto: httpptpn5.com
Bongkar muat sawit. Sumber Foto: httpptpn5.com
Iseng kepada dia  saya tanyakan masalah capres cawapres pilihannya. Bapak empat anak ini tak mau pusing dengan urusan capres. "Siapa pun presidennya kami nrimo. Habis, perkara perut anak isteri tetap di tangan kami. Yang penting negeri aman, petani makmur. Mau beli apa-apa harga stabil barang tersedia, bahan bakar lancar, beras murah terjangkau. Mau impor atau ekspor ya, terserah." Lelaki hitam manis itu mengakhiri pembicaraannya, terus pergi.

Beginilah potret kampung kecil Tanjung Batang Kapas dan Pasir Ganting Inderapura, dari zaman ke zaman. Berkat usaha semua pihak, masyarakatnya terbilang berhasil menikmati pembangunan di banyak aspek. Namun untuk menyejahterakan kehidupan pribadi dan kelompok, mereka terkendala oleh hal lain. Salah satunya, produk pertanian mereka belum dihargai dengan tarif yang wajar.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun