Usai menghadiri kompasianival 2018,  empat  hari berturut-turut saya ikut anak menantu  melanglang buana di ibu kota.  Sampai di Jambi bawaannya tidur mulai pukul delapan pagi sampai jam empat sore.  Bangun hanya waktu shalat dan makan. Kondisi begini berlangsung 2 kali 24 jam. Barangkali  ini efek  dari kelelahan. Padahal, ke mana-mana naik gocar.
Dasar mata orang udik. Mungkin ia tak  kuat menanggung beban memandang sesuatu melebihi kapasitas.Â
Petani Membajak Sawah. Dokumen pribadi.
Petani Mengeringkan Hasil Panen. Dokumen Pribadi
Lazimnya netra renta ini cuma familiar dengan bukit dan gunung hijau, pohon nan berbuah lebat, petani yang membajak sawah dan mengolah hasil panen, serta air danau beriak tenang.
Alpokat Milik Tetangga: Dokumen pribadi
Apabila hari mulai petang, sapi dan kerbau pulang ke kandang. Begitulah lingkungan kediaman saya dalam kesehariannya.
Sapi Pulang ke Kandang. Dokumen pribadi.
Kerbau Pulang ke Kandang. Dokumen pribadi.
Ternyata Ibu kota RI ini aman-aman saja.  Wajahnya jauh lebih rupawan daripada sebelum-sebelumnya. Gedung-gedung  yang menjulang tinggi, pepohon nan hijau di kiri kanan jalan  memberikan kesan artistik bagi setiap mata yang memandang.  Pendek kata,  kota metropolitan ini memang cantik.  Mengalahi Kuala lumpur yang gersang kerontang.
Kota Kuala Lumpur, Kawasan Bukit Bintang (2017). Dokumen pribadi.
Belum lagi keelokan Bandara Internasional Sukarno Hatta yang belum tersaingi  oleh bandara yang pernah saya singgahi. Seperti,  Istambul  Ataturk dan Birmingham Airport Inggris (2015),  serta  Internasional Kuala Lumpur Airport (2017). Mulai  dari kebersihan dan penataan ruang, toilet,  sampai ke fasilitas pendukung dan dekorasinya.
Sebuah Taman Dekorasi di Salah Satu Terminal Keberangkatan Luar Negeri Bandara Internasional Sukarno Hatta. Dokumen pribadi. (2017)
Sebagai wujud rasa memiliki, saya bangga terhadap kota Jakarta. Tetapi, kerena  terlanjur menua di alam pedesaan, saya berpikir kota metropolitan ini hanya pantas didiami  orang-orang berduit, atau untuk tempat menghabiskan duit. Apa-apa-duit. Selangkah berjalan duit, lewat tol duit, anak-anak bermain pakai  duit, mahalnya selangit.
Ketika menemani cucu main di Kidzania dalam sebuah mall, tidak hanya si kecilnya yang  bayar duit. Pendampingnya pun wajib punya tiket. Kalau tak salah ingat, Rp 135.000 per orang. Untuk empat jiwa (anak, menantu, nenek, dan cucu) total Rp 540.000. Belum lagi belanja makan di restoran  area tersebut yang harganya serba Mahal.
Bagi orangtuanya berdompet tebal, uang sebanyak itu hanya recehan kecil.
Saya sedih membayangkan anak-anak yang barasal dari keluarga tak punya. Seumur hidup belum tentu satu kali mereka dapat nenginjakkan kakinya di sana. Teringat semasa saya kecil dahulu.  Ngiler melihat boneka anak orang kaya.  Dipegang sedikit  dimarahi emaknya.
Kembali ke tarif Kidzania. Tiga tiket diberikan sedikit diskon. Sayangnya saya lupa mencatat besarnya berapa. Satu lainnya tarif reguler. Saya mengapresiasi diskon tersebut  sebagai basa basi dan pemanis, supaya pengunjung ketagihan datang lagi.
Lihat Sosbud Selengkapnya