Kalau ada orang bertanya, "Siapakah insan yang paling berbahagia di muka bumi ini?" Mungkin jawabnya adalah "orang sakit jiwa."
Loh, Kok begitu, Nek?Â
Ya, iyalah. Karena mereka tak banyak pikiran. Tidak pengen punya pacar atau isteri cantik maupun suami ganteng, tidak pengen beli mobil, tidak pengen punya rumah, tidak pengen menyekolahkan anak dan segala keinginan yang bersifat duniawi lainnya. Di otaknya hanya ada dua, yaitu makan apabila lapar dan tidur ketika mengantuk. Mungkin tersebab itu kaum ini jarang sakit karena jauh dari stres. Bahkan ada yang puluhan tahun berkeliaran dengan kedekilannya, raganya masih sehat. Padahal, mereka tak mengenal kebersihan. Baik pakaian, maupun makanan.
Argumen di atas bukan tanpa alasan. Salah satu kepala dokter rumah sakit paling penting yang tidak disebutkan namanya mengatakan, "Jika saja saya bisa mengusir kegilaannya saya tidak akan melakukannya. Dia (pasien) jauh lebih bahagia dalam kondisinya sekarang, jika dibandingkan dengan kenyataan hidupnya yang sebenarnya.Â
"Dokter yang berpengetahuan tinggi di bidang penyakit menta  itu menambahkan, "Sebagai suatu kelompok, orang gila lebih berbahagia daripada Anda dan saya. Banyak mereka yang menikmati kegilaannya. Mengapa tidak? dalam dunia khayal, mereka telah berhasil menciptakan perasaan penting yang amat dirindukannya  dalam dunia nyata yang telah mereka tinggalkan." (Dale Carnegie).
Tahun 1978 saya punya kenalan seorang gadis cantik, siswa SMP di sebelah rumah saya. Sebutkan namanya A. Dia sering berinteraksi dengan saya dalam banyak hal. Sebab, selain berteman dengan adik ipar saya A adalah salah satu pelanggan saya dalam menjahit pakaian, dan memotong rambut.
Dua puluh tahun lebih dia tak pernah muncul, terdengar kabar bahwa A menderita gangguan jiwa. Suatu hari saya bertemu dia di kediaman orangtuanya di desa K. Saat itu saya sedang di dalam Angkutan Desa. Kebetulan ada penumpang yang turun pas di depan rumahnya. Dia tersenyum, " Eh...Ibuk Nur," ujarnya.Â
Saya kaget. Orang yang mengalami gangguan ingatan ternyata masih mampu mengingat nama saya. Padahal telah puluhan tahun saya dan dia tak pernah berjumpa. Kondisinya sangat memprihatinkan. Pakaian dan badannya kumal. Ceritanya, dia sering keluar rumah untuk beberapa hari tanpa tujuan yang jelas.Â
Rekan kerja saya punya kisah lain. Dia tinggal di kawasan kota yang padat penduduk. Di samping rumahnya terdapat sebuah bangkai mobil. Suatu senja, dia melihat perempuan muda pengidap ODMK membawa kardus masuk ke bangkai mobil tersebut. Tak lama kemudian menyusul seorang pria, terus nyusup dan mengendap di te ka pe. Si cowok juga penyandang penyakit yang sama. Kondisinya, maaf, sama-sama kumal dan super jorok. "Saya berpikir positif saja. Mungkin mereka pasangan suami isteri," jelas rekan kerja saya tadi.
Mencermati tiga kisah di atas, selaku orang awam saya berpikir, andaikan mendapat penanganan serius, ada harapan mereka bisa sembuh. Meskipun hari-hari kerjanya menggelandang masih tersisa sedikit kewarasan. Buktinya, mereka mampu mengingat nama kenalannya, menyayangi anak, dan mencari tempat aman buat istirahat dan membutuhkan rasa saling melindungi antar lawan jenis.