Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meraih Cinta dan Kesuksesan Berawal dari Patungan Dua Puluh Ribu

16 November 2018   21:11 Diperbarui: 20 November 2018   10:36 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses pembuatan pisang bakapik. Dokumen pribadi.

Maria, begitu dia disapa. Kedengarannya nama ini milik wanita. Tapi siapa menyangka anak muda 31 tahun Kelahiran Desa Tanjung Tanah  ini lelaki tulen dan jantan.  Kepribadiannya yang ramah, membuat siapa saja yang berinteraksi dengannya merasa nyaman. Termasuk saya.  Sosok yang bernama asli Mahria Agustia ini adalah pemilik konter HP Mifdal Cellular yang beralamat  di Jalan Arif Rahman Hakim Kota Sungai Penuh. Tepatnya di depan SMA Negeri  1.

Setiap ke Sungai Penuh, saya nyaris tak pernah alpa mampir di sana. Maklum nenek gaptek. Kadang HP berulah, laptop eror, sampai ke kamera  foto yang salah stelan. Kepadanyalah saya mengadu.   Jika konternya lagi sepi, saya dan suami  sengaja berlama-lama sambil bertanya ini itu menyangkut penggunaan barang elektronik dan cara menanganinya jika ada kesalahan ringan. Meskipun keahlian menyervis HP dimanfaatkannya untuk mencari duit, Maria bukan tipe orang pelit ilmu. Saya bayar, dia sering menolak. Jadi acap kali gratisnya. Hm ..., hm.

Kemarin, tanpa sengaja saya menanyakan kunci rahasia usahanya, yang menurut saya berkembang pesat dalam waktu relatif singkat.

"Bermula dari modal Rp 20.000 saya dan Yulia Nasrita teman kuliah beda jurusan, patungan memberanikan diri mendaftar  ke agen untuk menjual pulsa. Heh ... tiada terasa dalam dua  tahun  bisa bertahan dan sedikit berkembang. Persahabatan dengan Yuli  pun masih terjalin erat."

"Berteman tapi mesra, kali?" saya menggoda.

Mahria Agustia dan keluarga. Sumber foto: Facebook
Mahria Agustia dan keluarga. Sumber foto: Facebook
"Tidak kok, Bu. Suatu hari salah satu teman setingkat mengusulkan agar saya dan Yuli menentukan kejelasan  status. Pacarankah, atau ada janjian menikah, atau apalah, apalah." Pria berjenggot itu  tertawa. "Saya berpikir ada benarnya juga. Selesai Wisuda Maret 2011, masih pakai toga saya ajak Emak dan ayah melamar ke orangtua Yuli."

"Tak ada halangankah dari Ayah Bunda? Kalian kan beda suku?"

"Keluarga kedua belah pihak mendukung, Bu.  Ayah saya mengerti  agama. Beliau menghargai perbedaan. Karena berbeda itu rahmatan lil alamin. Begitu juga orangtua Yuli."

Saya terkagum-kagum. "Kisah cintamu unik. Apa pe de melamar anak gadis orang belum bekerja."

"Rezeki Tuhan ngatur Bu. Yang penting niat berumah tangga itu ikhlas disertai tekad yang kuat untuk berani hidup mandiri. Tanpa bergantung kepada orangtua atau mertua. April 2011 kami ke pelaminan. Setelah nikah,  modal yang dibangun dari patungan Rp 20.000 dahulu kami satukan. Buka warung pulsa, rental komputer, kecil-kecilan di dusun tempat Emak dan Ayah saya."

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Sebenarnya cikal bakalnya pintar berusaha telah terlihat sejak dia masih kuliah. Di samping menjual pulsa, ayahanda Mifdal dan Mirza ini tidak malu nyambi sebagai pedagang tahu keliling, mengetik naskah tugas teman/skripsi seniornya, dan kerja apa saja yang bisa menghasilkan uang. "Semasa kuliah saya terbilang mewah. Pernah ayah saya bilang, saya sombong. Karena menolak diberi uang semester,"  kenangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun