Berbicara tentang  nelayan, yang terlukis di benak kita adalah kapal ikan yang sedang berlayar mengharungi laut  menantang  gelombang. Mending rezeki lagi berpihak, hasil tangkapan melimpah ruah. Apabila nasib sedang tak mujur tersebab ombak yang tiada bersahabat, tidak ada pilihan selain menganggur.
Begitulah nasib anak pantai dari zaman ketumbar sampai zaman merica, menggantungkan suap pada ikan di laut. Sebanyak apapun perolehannya, predikat kaya tetap disandang laut, yang sejahtera pedagang ikannya.
Lumayan nelayan era sekarang, munggunakan peralatan serba canggih semua pekerjaan serba mesin.  Zaman ayah saya dahulu, untuk menggerakkan jukung menunggu belas kasihan dari alam. Berangkat tengah malam saat angin darat bertiup, pulang  siang  tatkala angin laut berhembus. Belum lagi getirnya pinggang menghela pukat di atas  pasir yang panas memanggang.
Kemudahan ini telah mereka nikmati sepuluh tahun terakhir, berkat peralatan yang disebutnya psap. Yaitu seperangkat alat tangkap ikan yang terbuat dari jaringan berkerangka besi.
Kita tinggalkan sejenak masalah psap. Mari, ikut saya mengunjungi pantai dan danaunya sambil menikmati pemandangan alam yang cantik, indah, dan menawan.
Semenjak psap populer di  kalangan nelayan setempat, Danau Kerinci seakan menjelma menjadi negeri terapung. Tak jauh dari bibir pantai, ratusan pondok kecil bercongkol di sana-sani. Dalam bahasa Kerinci disebut sudung.  Di sekitar itulah perangkat tersebut dipasang. Dengan cara menenggelamkannya ke dasar danau, pada kedalaman dan posisi tertentu.
Minggu kemarin, saya dan suami  menyambangi sebuah pondok nelayan di pantai Pidung. Di sana nongkrong dua pria nelayan, plus tiga wanita muda. Pada kesempatan tersebut  saya sempat berbincang dengan salah satu nelayan. Ketika ditanya apakah malam hari mereka nginap di sudung.
Pria itu menjawab, "Di sini aman, Bu. Ada daerah tertentu yang rentan pencurian. Tapi biar tidak kecolongan sebaiknya ditunggu malam," jawabnya.