"Lhoh. Ibuk kenal ibu saya."
"Ya, kenal, lah," balasku kikuk. "Semasa remaja dia tinggal bersama saya. Putra pertama saya besar dalam gendongan dia. Yang ke dua, Wajah, warna kulit, dan tanda lahir di tanganmu  delapan puluh persen mirip. Bukankah ibumu dulu kembali ke Lubuk Linggau?" Aku berusaha tersenyum dan bersikap wajar. Agar dia tidak curiga ada kegalauan di benakku.
"Iya. Beliau meninggal semasa saya berusia 6 tahun. Semenjak itu, saya diboyong paman ke kota Jambi ini," balasnya.
Aku linglung. Sekujur tubuhku berkeringat dingin. Ingin aku membumihanguskan dosa besar yang terkalung di leherku. Karena telah memaksa suami tercinta menceraikan Syofinah dan mengembalikan dia kepada orangtuanya. Padahal saat itu perempuan yang dua bulan dinikahinya itu tengah hamil muda.
"Ini, Buk ...!" Remaja itu menyerahkan belanjaanku, "Uang pas ya, Buk!" tambahnya.
Astaghfirullah ....
"Ngelamun Ibuk ...?" Gadis itu tersenyum lagi seraya menempelkan kresek belanjaan tadi ke tanganku.
"I ... iya. Maaf." Lagi-lagi aku beristighfar dalam hati.
***
Jambi, 13072018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H