"Mari, Buk! Masih panas," Gadis bertopi lebar itu menawarkan dagangannya. Tulus dan ramah. Itulah kesan pertama yang kutangkap darinya.
Namun aku bingung. Rasanya pernah mengenal dia. Tapi lupa kapan dan di mana. Sambil mengerutkan kening, kuhimpun semua ingatan yang terserak. Namun semakin liar. Ya. Sudahlah. Kuabaikan saja. Aku mendekatinya.
Anak muda itu merespek tingkat tinggi. Ia membuka tutup wadah dagangannya. "Berapa bungkus, Buk? Satunya cuman dua ribu lima ratus."
"Dua," jawabku sambil mengangkat telunjuk dan jari tengah.
Dengan cekatan dia memasukkan dua bungkus susu kedelai tersebut ke kresek kecil merah muda.
Kubayar dengan uang pas, lalu pergi. Dalam hati aku memuji betapa remaja cantik itu rendah hati. Tidak malu menawarkan dagangannya kepada semua orang yang lewat. Termasuk aku.
Setiap aku ke Pasar Sakura, pasti bertemu dengannya. Dia berjualan sambil berdiri di samping parkiran ojek. Rutin pula aku menyisihkan uang lima ribuan untuk belanja susu kedele. Â
Salut dengan keuletannya, aku mendaulat diri sebagai pelanggan tetapnya. Bahkan sudah akrab.
Sebulan kemudian, dia tampil agak berbeda. Biasanya pakai baju kemeja panjang tangan dan celana jeans biru, hari itu dia mengenaki kaos longgar lengan sesiku dan kulot. Tapi tetap pakai topi lebar. Dadaku berdesir ketika terlihat noktah hitam menempel di tangan kirinya. "Siapa namamu, Nak?" tanyaku.
"Syofni." Gadis itu tersenyum. Manis sekali.Â
Dadaku sesak. "Ka ... kamu anaknya Bi Syofinah ya?"