Tubuhnya ringkih matanya bertaut. Garis celah antara pelupuk atas dan bawah netranya masih mampu mengerdip. Ketika berjalan, kepalanya agak menengadah. Apakah dia pura-pura buta atau buta benaran, wallahu alam bish shawab.
Yang pasti, profesinya sebagai pengemis. Dua kali seminggu jadwal kerjanya menyinggahi rumah-rumah di kampung Subur. Yang menarik, dengan kantong berisi beras tersampir di bahunya, dia mampu menempuh jalan belasan kilometer tanpa dituntun.
"Gaek (1)! boleh saya bantu?" Subur menawarkan diri.
"Jangan. Nanti Emak-mu marah. Perjalanan saya jauh. Sampai ke pelabuhan Muara Sakai."
Subur semakin tertarik. "Ini kesempatan bagi saya untuk melihat kapal," gumamnya.
"Tidak apa-apa."
"Kau tidak sekolah?"
"Ai ..., Gaek. Sekarang kan hari Minggu."
Pengemis enam puluhan tahun itu berpikir sejenak. "Oh, iyo?"
Subur mengambil alih kendali tongkatnya, terus menuntun pengemis itu berjalan. Anak laki-laki kelas dua Sekolah Rakyat itu bangga melakukannya. Meskipun selama menapaki jalan kampungnya, banyak teman sekolahnya menegur dan mencemooh. Begitu juga orang dewasa.
"Eh ..., Anak saudagar cengkeh minta sedekah. He he he," ejek salah seorang teman ayahandanya Subur.