Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harapanku Hanyut di Batang Merao (Cerita Mini)

4 Juli 2018   16:42 Diperbarui: 4 Juli 2018   17:33 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pekanbaru.tribunnews.com

Setengah jam lebih aku mendayung sepeda dari kota Sungai Penuh, dusun yang dituju belum juga  kutemui. Cupak, Kecamatan Danau Kerinci. Demikian alamat yang tercantum dalam selembar kertas yang kugenggam saat itu. Sebuah desa yang ditakdirkan Allah tempatku mengabdi hingga cantikku lumat dikunyah usia.

Sampai di pinggir sungai Batang Merao, aku melihat seorang kakek duduk termenung pada sebuah batu, memandang air hanyut ke hilir. Wajahnya berlindung di balik topi anyaman dari daun pandan.  Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah sepeda tua tersandar di besi bahu jembatan.

Aku turun, terus menyeret sepeda ke arah sang kakek. "Assalamualaikum, Ntan (1). Boleh numpang tanya? Masih jauhkah dusun Cupak dari sini ...?"

Buru-buru Kakek sepantaran delapan puluh tahunan tersebut membuka topinya, lantas meghapus air mata dengan ujung bajunya. Dia menatapku iba. Pertanyaanku barusan menguap dikulum atmosfir.

Timbul keraguan di hati. Jangan-jangan ini  orang tidak waras. Dadaku menabuh cemas. Hendak surut ke belakang, sulit rasanya karena kekuatan tubuhku  porsir untuk menyangga sepeda.  

"Pio (2) Nantan nangis?" tanyaku pura-pura berani, walau sebenarnya takut.

"Tadinya saya disuruh membeli ayam hitam. Untuk mengobati isteri saya sedang sakit parah." Kakek bertubuh kurus itu mengubah posisi duduknya. "Sampai di sini ayam itu terlepas, menghambur masuk sungai dan hanyut dalam keadaan kakinya terikat."

"Beli yang lain aja, Ntan!"

"Ini yang membuat saya sedih. Untuk membeli gantinya tak punya uang lagi.  Membayar yang tadi saja sebagiannya masih terutang. Karena alasan untuk obat, si pemilik mengikhlaskan ayamnya dibayar seadanya." Tangis sang kakek berangsur  redam. Wajahnya mulai agak cerah.

Mendengar keluhan sang kakek, aku terbawa sedih. Hampir saja air mataku rontok.  "Ya, sudah. Nantan  pulang dulu! Mana tau sampai di rumah ada rezki lain sedang menunggu."

Belum beranjak aku dari tempat kejadian, seorang anak laki-laki sekira 14 tahun terengah-engah mengendarai sepeda. "Ntan! dari mana saja Nantan? dari pagi sampai sesiang ini. Pulang saja! Nino (3) sudah meninggal."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun