Idul Fitri tinggal menghitung hari. Satu persatu perantau mulai mudik. Beberapa rumah bagus yang selama ini terkunci, kini tampak bercahaya karena halamannya telah rapi, pintu dan jendelanya terbuka lebar. Pemandangan begini hampir terlihat di tiap desa dalam Kecamatan Danau Kerinci. Khususnya Desa Tanjung Tanah, kawasan persawahan pinggir jalan raya Sungai Penuh-Jambi.
Momen begini hanya berlaku sekali setahun. Sebelum dan sesudah lebaran. Selepas itu, lingkungan tersebut sepi lagi. Pagar-pagar dan pintu kembali digembok. Pemukiman yang terbilang mewah ini sebagian besar milik TKI yang bekerja di negeri jiran Malaysia.
Kalau dihitung-hitung, untuk apa membangun rumah bagus di kampung. Sekadar untuk bermalam dua tiga minggu. Setelah itu, dibiarkan terpapar seperti barang tak terpakai.
Alasan mereka simpel. "Upah mpok." Artinya membayar upah jerih payah diri. Meskipun cuma sekali setahun. Di negeri orang kami bekerja membanting tulang, pergi pagi pulang petang. Hanya gigi yang tidak berkeringat. Tinggal di kontrakan, di  flat yang udaranya sumpek, dan rumah setinggan ( gubuk) laiknya kandang hewan. Satu kamar 3x3 meter penghuninya 8-10 orang. Cerita SS, perempuan tengah baya warga TanjungTanah. Beliau ini kenalan saya, yang saat ini masih bekerja di Malaysia, pulang sekali setahun.
Warga Tanjung Tanah pergi ke Malaysia secara besar-besaran mulai awal tahun tujuh puluhan. Boleh dikatakan gelombang pertama. Umumnya zaman itu rombongan masuk tanpa dokumen. Melalui jasa toke atau tekong, dari berbagai pelabuhan nelayan Riau mereka diselundupkan naik kapal feri, menuju negeri seberang.
Prosesnya pun tidak mudah. Menunggu situasi aman dari pengawasan petugas. Berangkat malam, sampai di Malaysia pun gelap gulita. Untuk menghilangkan perasaan takut, selama di kapal tak henti-hentinya saya berzikir. Maklum seumur hidup baru sekali melihat laut, kenang SS.
Untuk pengurusannya butuh pengorbanan tenaga dan uang. Mendingan punya toke (juragan) yang baik hati. Mereka bersedia mengeluarkan uang pribadinya terlebih dahulu.
Meskipun dengan syarat-syarat tertentu. Ketika masih kosong, setiap ada razia terhadap pendatang haram (gelap),saya dan teman-teman selalu dikejar ketakutan. Sering tengah malam kami lari terbirit-birit masuk hutan, ngumpet di bawah polongan, dalam drum kosong dan di tempat lain yang kira-kira aman dari kejaran Polis Diraja Malysia.
Kini, anak cucu keturunan TKI asal Tanjung Tanah tersebut telah menyebar ke seluruh pelosok Malaysia. Di antaranya banyak yang menikah dengan warga asli Melayu.
Dari dahulu, masyarakat Tanjung Tanah mempunyai keterkaitan erat dengan Malaysia. Pada zaman kolonial, banyak warganya yang merantau ke negeri serumpun tersebut. Di sana mereka beranak pinak dan diterima oleh penduduk dan penguasa setempat. Sebagai bukti sejarah, di Kuala Lumpur ada satu pemukiman namanya Kampung Kerinci. Semua penghuninya anak keturunan dan perantau dari Kerinci didominasi oleh keluarga asal Tanjung Tanah.