Pacaran adalah salah satu sarana bagi dua insan yang berlainan jenis untuk memadu kasih. Dalam pacaran seorang cowok dan cewek berkesempatan menjalin komunikasi terbuka. Sehingga masing-masing individu dapat mengenal markah calon pasangannya. Dalam berpacaran pula seseorang merasakan bagaimana indahnya cinta, manisnya rindu, sehingga hidup ini terasa berseni. Asalkan tidak terjebak pada jalan yang salah.
Pacaran pada dasarnya bermula dari rasa saling ketertarikan antara pemuda dengan seorang gadis. Siapa yang mula-mula mempraktikkannya, itu ya Bung susah ditebak. Butuh beberapa pakar untuk mendalaminya. Mungkin kita semua percaya bahwa kegiatan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Hanya cara pengaktualisasinya yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungan dan zamannya.
Saya masih ingat, gaya pacaran tahun enam puluhan, butuh seseorang sebagai perantara. Istilah kerennya Mak Comblang. Perannya sebagai kurir untuk saling berkirim pesan antara bujang dan gadis yang sedang dimabuk asmara. Oknumnya harus orang yang kredibilatas keteguhannya teruji agar rahasia tidak bocor. Kalau ketahuan orangtua, si cewek harus siap-siap memasrahkan diri untuk dimarahi dan dipukul.
Semakin lama angka melek huruf di tanah air tercinta ini kian tinggi. Pesan yang semula disampaikan secara lisan beralih ke tulisan. Namun masih membutuhkan orang ke tiga sebagai pos. Sebab, pasangan kekasih tersebut tidak berani berhadapan terang-terangan. Seingat saya model pacaran begini masih berlangsung sampai akhir tahun tujuh puluhan.
Selain itu, ada pula teknik memadu kasih bergaya klasik. Pola ini sesuai dengan tradisi dan karakter daerah asalnya. Salah satu contohnya, di Mandailing Tapanuli Selatan yang dikenal dengan budaya Markusip. Markusip artinya berbisik. Di mana, sepasang kekasih membicarakan masalah percintaan dengan saling berbisik pada malam hari. Tempatnya di kediaman perempuan. Si cewek berada di dalam rumah, cowoknya di luar. Mereka berkomunikasi dari balik/celah dinding atau di kolong rumah. Waktu pertemuannya, setelah orangtua si gadis tidur lelap.
Markusip ini bertujuan untuk menjaga sopan santun. Sebab, sepasang muda mudi yang berlainan jenis berduaan di halayak adalah tabu bagi masyarakat setempat.
Lain Mandailing beda pula di tempat saya di Kerinci. Sebuah kabupaten yang bernaung di wilayah Propinsi Jambi . Di sini berpacaran disebut bamudo. Dapat dimaknai dengan sepasang muda-mudi sedang menjalin hubungan cinta. Manifestasinya dikenal dengan budaya batandang.
Batandang artinya bertandang. Seorang pemuda datang mengunjungi pujaan hatinya. Lazimnya pada malam hari di rumah orangtua perempuan. Mulai pukul 19.00-24.00. Bahkan tak jarang sampai dini hari, jika pasangan muda-mudi tersebut sedang dilanda mabuk cinta. Saat bertemu, sang gadis didampingi seorang wanita dewasa. Ibu atau kerabat dekat pihak perempuan sebagai pengawal. Sang bodygard tidak harus duduk satu meja dengan pasangan yang sedang diawasi. Cukup memantau dari lain ruangan.
Tahap awal, adalah penjajakan. Sang gadis mempelajari tipe calon pasangannya. Apakah laki-laki tersebut memenuhi kriteria pria dambaannya atau tidak. Apabila ada kecocokan, hubungan berlanjut. Kalau tidak, jangan harap akan dibukakan pintu untuk malam berikutnya. Namun, tidak tertutup juga kemungkinan pemudanya yang hanya nongol satu dua malam saja. Habis itu dia tak mau berbalik lagi.
Dalam batandang sepasang anak adam yang memadu kasih, membicarakan masalah percintaan, merajut masa depan seindah bintang menghiasi langit. Dalam menyampaikan maksud, si pemuda tetap menjaga etika. Sesekali mereka menggunakan kalimat berbau satire.