Zaman dahulu, bagi masyarakat desa  menu  pembuka puasa umumnya dimasak sendiri.  Kalau mau beli, tersedianya di Pasar Ramadhan daerah perkotaan. Sekarang,  kota dan desa beda-beda tipis. Hidup ini serba praktis. Asal ada uang, pasti ada barang.
Di desa saya Simpang Empat Danau Kerinci, sepanjang musim puluhan pedagang makanan dan buah berjejeran di pinggir jalan dan di pasar-pasar tradisional. Jajanannya lebih bagus dan murah  daripada di kota. Soal citarasa, mutu dan harganya pun bersaing. Kelapa muda, di kota dihargai Rp 10000 per biji. Sementara di desa saya cuma Rp 8000. Begitu juga  jagung manis dan kacang tanah rebus. Rata-rata selisih harganya 10-20%. Kesenjangan tarif berlaku juga untuk penganan olahan seperti gorengan, dan aneka sambal. Kesegaran dan kebersihannya pun tak perlu diragukan. Karena  dipajang  dalam gerobak tertutup. Tidak terdedah di tengah ramainya pengunjung. Toh, pedagangnya rata-rata orang berpendidikan. Bahkan beberapa di antaranya sarjana jurusan tata boga.
Hanya pilihan jenis dan ragamnya lebih sedikit.  Makanya, saya dan suami  sering ke Pasar Mambo kota Sungai Penuh.  Lokasinya  persis di  pusat kota.  Cuma 15 menit naik motor dari kediaman saya.  Setiap hari selama bulan puasa, pasar khusus Ramdhan ini  diserbu pengunjung. Buka mulai pukul  02.00  sampai  waktu berbuka . Beragam jenis makanan tersedia. Mulai dari masakan tradisional sampai ke jajanan modern.
Lucunya, Karena terlalu banyak pilihan, sampai di sana saya suka bingung. Apa yang terlihat  rasa-rasa enak di kerongkongan. Saat berbuka, paling yang dimakan beberapa bijii. Sisanya, masuk kulkas. Tak bakalan diulang lagi. Makanya, sebelum ke lokasi,  saya ajak suami fokus ke jajanan yang paling dikangeni, tidak ada dijual di desa, dan kemunculannya hanya di bulan puasa saja.
Jajanan di maksud antara lain,
- Lemang tapai
Setiap ke Pasar Mambo, sasaran utama saya dan suami adalah lemang tapai ketan hitam. Penganan  ini kegemaran anggota keluarga saya. Mulai masih kanak-kanak kami sudah mengenalnya dari orangtua.  Sebab, pada dasarnya  lemang dan tapai ini makanan khas daerah saya. Di sini hanya dapat ditemui pada bulan puasa saja.  Dengan merogoh kocek Rp 20.000 pelanggan sudah membawa pulang 2 potong lemang dan 2 bungkus tape ketan hitam. Meskipun citarasanya kalah enak dari produk  negeri asalnya. Rindu kangen kampung halaman pun seakan terobati. Â
- Kari kambing India.
Trend membeli  gulai kambing hanya pada bulan puasa. Padahal setiap hari lauk tersebut dapat ditemui di rumah-rumah makan padang kota Sungai Penuh. Yang tidak ada, gerak-gerak kumis pedagang  Indianya saat mengaduk-aduk kuah di wajan. Dan, bau amis daging kambingnya yang menyengat tajam.  Saya berpikir, mungkin karena  cita rasa kebulanpuasaannya itu yang membuat suami saya jatuh hati.
- Palai bada
Bagi orang yang dibesarkan di pinggir laut, pasti mengenal yang namanya palai bada. Bahan bakunya, ikan teri sagar, dikasih bumbu giling. (kelapa parut, cabe, bawang putih bawang merah, kunyit, jahe, garam, jeruk nipis). Kemudian diaduk bersama ikannya. Terus dibungkus/gulung dengan daun pisang. Selanjutnya kancing kedua ujungnya pakai lidi kelapa. Â Lalu dibakar menggunakan open atau multi pen). Mungkin saudara saya yang bukan sesama satu pulau, mengenalnya sebagai pepes tetapi dikukus. Palai bada ini juga jarang ditemui selain bulan Ramadhan. Harganya pun lumayan bersahabat. Hanya sepuluh ribuan per bungkus.
- Peyek udang
Semua masyarakat Indonesia pasti mengenal  bermacam-macam peyek. Ada peyek  kacang, peyek tempe, atau peyek apa saja, termasuk peyek yang satu ini. Tampilan fisiknya sama. Yang membuatnya berbeda, udang lautnya saja.  Ukurannya kurang lebih selebar telapak tangan orang dewasa.  Ini juga makanan tradisional yang cuma ditemui pada  bulan Ramadhan. Harganya  Rp 2500 per biji.
- Mie goreng
Sungguh lucu bin aneh. Hare geni  makan mie goreng menunggu bulan Ramadhan, Et ..., jangan ngejek dulu. Ceritanya, semasa melajang suami saya  11 tahun merantau di pulau Jawa. Selama itu pula dia  makan di warteg. Sudah pasti lidahnya sangat familiar dengan masakan Jawa. Dan makanan manis lainnya, termasuk mie goreng.
Apakah saya tidak berpikir untuk belajar masak mie goreng ala jawa? Jawabnya  iya. Namun, beliau tetap kangen yang buatan asli tangan Mbak Jawa-nya. Sekering apapun isi kantongnya, kapan seleranya menuntut, dia pasti ke Pasar Mambo. Hanya sekadar membeli mie goreng  si Mbak. Pernah saya goda dia.  "Ah, awak bukan kangen mienya tetapi rindu penjualnya."