Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan, Bawalah Aku ke Alam Mimpi untuk Menatap Wajah Ibuku

2 Januari 2018   14:11 Diperbarui: 2 Januari 2018   15:18 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Tetapi Mak butuh penguat. Agar kita disegani dalam kampung."

Tradisi di kampungku, memang begitu. Keluarga yang tidak punya saudara laki-laki, cendrung kurang disegani. Makanya, ibuku sangat mendambakan saudara atau anak laki-laki. Untuk melampiaskan keinginannya tersebut, beliau sering membelikan aku pakaian anak cowok. Semasa masih kecil, hal begitu bagiku tidak masalah. Setelah usiaku jalan tujuh tahun, aku sudah pandai protes.

Suatu hari ibu membelikan aku pakaian. Kemeja panjang tangan dan jaket warna  hitam. Harganya relatif mahal jika dibandingkan dengan gaun atau rok dan blus. Awalnya aku menolak. Demi menimbang dan menghargai perasaan beliau, aku paksakan hati untuk menerima. Tetapi aku tak pernah mau memakainya.

Setiap akan bepergian, ibu ngotot agar aku mengenakinya. Aku menolak dan terus menolak. Alasanku hanya satu, "Baju itu untuk anak laki-laki." Besoknya aku dipaksa lagi. Bertubi-tubi pujian meluncur dari bibirnya, "Kemejanya cantik, anak gadisku manis."

Aku tetap memegang prinsip, sekali tidak suka, tetap tidak suka. Karena terus didesak, aku kesal. Amarah menguasai dadaku. Kuambil baju tersebut, terus kumasukkan ke dalam lesung. Tanpa pikir panjang, sambil berurai air mata aku tumbuk menggunakan alu hingga setengah lumat.

Peristiwa tragis itu membuat ibuku meratap. Aku juga menangis. Kemejanya hancur bak diiris.

Kini, prahara kemeja merah muda itu tinggal sejarah. Tak mungkin terpisah dari ingatanku sampai ajal datang menjemput. Anehnya, setelah aku dewasa, oleh ibuku insiden tersebut menjadi cerita lucu dan bahan olokan. Seujung rambut pun tiada terbersit di wajahnya dendam dan marah padaku.

Namun, setelah ibuku tiada, aku sedih bila teringat betapa ibuku tersakiti karena ulahku dikala itu. Meskipun telah puluhan kali aku minta maaf, kesalahan tersebut sering mengusik ketenanganku. Puluhan tahun pula aku berusaha membunuh ingatan itu, tetap tak mampu melakukannya. Malah makin dilupa bertambah teringat. Terlebih ketika  masuk atau melewati toko pakaian jadi. Apalagi saat membeli baju buat si kecil. Tanpa terasa, saat menulis cerita ini pun pipiku basah berurai air mata. Jika sudah demikian, hanya doa yang mampu kubisikkan. Tuhan! Bawalah aku ke alam mimpi, untuk menatap wajah ibuku.

Terakhir aku menduga, Mungkin dengan melihat aku pakai kemeja dan jaket, kerinduan ibuku memiliki adik atau anak laki-laki jadi terobati. Hanya saat itu beliau belum menguasai kiat untuk  meraihnya. Dirinya juga tiada menyadari bahwa anak perempuannya ini memiliki prinsip yang kodratiah.

***

Simpang Empat Danau Kerinci, 02012018

Memory di awal tahun

Penulis, 

Hj. Nursini Rais

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun