Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan, Bawalah Aku ke Alam Mimpi untuk Menatap Wajah Ibuku

2 Januari 2018   14:11 Diperbarui: 2 Januari 2018   15:18 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto pengemis di kota Mekah/ Koleksi pribadi

Aku lahir dari rahim perempuan desa. Kedua orangtuaku berpisah semasa aku lima bulan dalam kandungan. Ayahku kembali ke mantan isterinya yang telah dua tahun dia ceraikan.

Tinggal dan besar bersama orangtua tunggal tidak membuatku berkecil hati. Karena dari ibu aku memperoleh kasih sayang yang berlipat-lipat. Belum tentu dimiliki oleh anak dalam lingkungan keluarga lengkap.

Sebagai wanita kampung yang kenyang dengan penderitaan hidup, ibuku tidak pernah mengeluh dengan peran yang dilakoninya. Untuk memenuhi kebutuhan kami sehar-hari, beliau bekerja sebagai pedagang kere dari pekan ke pekan. Sebatas sandang dan pangan boleh dibilang lebih dari cukup. Hanya membangun rumah bagus yang beliau belum mampu. Aku dan ibuku tinggal di rumah panggung tua peninggalan nenek buyutku dari pihak ibu. Apabila malam telah tiba,  kami hanya berteman dengan lampu minyak, yang tak pernah lupa dengan jelagah hitamnya.

Menurut cerita ibuku, ketika aku berumur delapan bulan, beliau pernah menikah dengan laki-laki lain berstatus jejaka. Katanya, kawin balas dendam. Tersebab pernikahan pertamanya dengan pria berstatus duda, yang tak lain adalah ayah kandungku.

Karena tidak ada kecocokan, perjodohan ke duanya hanya berlangsung seumur jagung. Ibuku memutuskan menjanda untuk episode ke dua.

Masih ceritanya, setahun kemudian ibuku kembali melepaskan predikat jandanya. Beliau dinikahi oleh duda beranak satu. Lagi-lagi ibuku terperangkap dalam pilihan yang salah. Tiga bulan kemudian sang suami memboyong isteri pertamanya berangkat ke pulau jawa untuk menunaikan tugasnya sebagai TNI. Semenjak itu, dia tak pernah kembali lagi. Kabar tidak berita pun tiada. Hubungan mereka berakhir dengan hadirnya sampul putih berisi surat cerai yang diantarkan tukang pos ke alamat kami. Ketiga pernikahan ibuku tersebut tiada terekam dalam memoriku. Yang aku tahu, beliau adalah seorang perempuan tanpa suami.

Meskipun pendidikannya sebatas kelas satu Sekolah Rakyat, ibuku pintar mendidikku cara bertatakrama, seperti emak-emak kampung lainnya. Beliau sangat menyayangiku. Apa saja yang aku pinta, selalu dikabulkannya. Asal tidak membahayakan jiwaragaku.  

Aku pun sangat mencintai ibuku. Aku nyaman di sampingnya. Pelukannya terasa hangat. Aroma tubuhnya yang semerbak, membuatku enggan melepaskan dekapannya. Saat beliau berada di rumah, aku tak mau bermain di luar. Apabila dia minta bantu, nyaris tak pernah aku membantah. Hanya satu yang aku khawatirkan, jika dirinya dekat dengan lelaki, lalu menikah lagi. Aku berpikir, kalau ibuku bersuami, kasih sayangnya padaku akan musnah, atau setidaknya berkurang.

Sebelum tidur, beliau sering berdongeng sambil menyelisik telur kutu di kepalaku menggunakan ujung jemarinya. Beliau juga suka bercerita tentang zaman dahulu. Semasa kecilnya memakai baju dari kulit kayu, adalah tema yang berkali-kali dia ulang. Begitu juga tentang kepahitan hidupnya di masa kolonial.

"Mak berharap kamu dulu laki-laki, ternyata Tuhan memberikan yang lain. Kau lahir sebagai perempuan. Tak apa. Mak bersyukur dan tak pernah menyesali kelahiran atau jenis kelaminmu. Mak sendirian membesarkanmu, itu juga Mak terima dengan lapang dada," ujarnya  usai menceritakan peristiwa kematian adik laki-lakinya akibat tenggelam di sungai.

 "Untuk apa saudara laki-laki, Mak. Yang mencari makan tetap juga Mak sendiri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun