Mohon tunggu...
Humaniora

Pluralisme yang Terjadi di Makassar pada Abad 17

28 Mei 2016   20:13 Diperbarui: 28 Mei 2016   20:34 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pluralisme dan kemajuan masyarakat pada abad 17

Saya kuliah di Universitas Fajar yang memiliki beberapa jurusan dan salah satunya yaitu Ilmu Komunikasi yang menjadi pilhan saya,pada program studi ini memiliki mata kuliah yang beragam dan salah satu yang menjadi ulasan yang menulis artikel ini mengenai mata kuliah yang dbawakan oleh dosen saya yang yang bernama Irfan Paluppui pada mata kuliah ANTROPOLOGI dan saya akan menjelaskan salah satu Bab pada matakuliah ini. Disini saya  akan menjelaskan sedikit pemahaman saya menegenai pluralisme dan kemajuan masyarakat pada abad 17 pada  pembahasan materi oleh kelompk saya kemarin.

Kemarin itu kami mendiskusikan tentang pluralisme dan kemajuan masyrakat makassar  pada abad ke 17 tidak seperti biasanya dimana biasa orang berdiskusi itu dalam sebuah forum (berpapasan muka) namun kali ini kami diskusi mengandalkan peran teknologi  (smartphone dan komputer) pada aplikasi yang bernama LINE yang diciptakan oleh jepang. Walaupun kami diskusi kami mengandalkan peran dari teknologi namun antusias dari teman-teman kelas saya sehingga  diskusi ini dapat berjalan dengan baik.

Yang bisa saya tangkap mengenai masyarakat makassar pada abad 17 yaitu bgaimana keterbukaan makassar itu yang dapat  menerima berbagai budaya yang ada baik yang ada dalam wilayah makassar maupun luar makassar sehigga makassar pada saat itu menjadi titik komersial sebagai basis bagi semua pihak yang sedang mencari jalan untuk menghindari usaha VOC memonopoli perdagangan rempah di maluku, pluralisme (paham yang baragam) akan kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh paham masyarakat makassar pada saat itu mengenai paham akan kekuasaan yang berasal dari dewa langit yang merintis kebumi di berbagai tempat, perjanjian yang dianggap sangat sakral terutama pada perjanjian kedua kerajaan yang apa bila perjanjian tersebut itu dilanggar niscaya kehidupan seseorang tersebut akan sial, pada abad 17 di makassar menjadi angka terendah dalam hal perbudakan karena pada masa ini makassar tidak mengekpor budak.

Mungkin hanya ini yang dapat saya pahami mengenai sub pembahasan pada mata kuliah antropologi. Terima kasih telah membaca artikel ini budayakan terus membaca pada diri anda jadikan sebuah konsep dalam hidup anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun