[caption id="attachment_103422" align="aligncenter" width="640" caption="William Shakespeare"][/caption]
Nama merupakan persoalan penting. Meski William Shakespeare mengatakan, "What's in the name, a rose is a rose". Apalah artinya sebuah nama, mawar tetaplah mawar (apapun namanya) yang tetap harum mewangi. Tetap saja seorang penyanyi kesohor, Reza Arta Mevia, mengubah namanya yang terlanjur kondang tersebut pada 27 Maret 2007.
Menurut Reza, seorang bijak mengatakan kepadanya untuk mengganti namanya karena namanya yang sekarang beraura negatif. Arta Mevia, dalam bahasa Latin, berarti "monumen kesedihan". Maka nama mantan istri pertama (alm) Adjie Massaid tersebut berganti menjadi Rezza Arta Mevira, yang konon diyakini lebih bermakna positif. Mevira, juga dalam bahasa Latin, berarti "kebahagiaan". Rezza? Entahlah, tak disebutkan maknanya, hanya saja demikian anjuran si orang bijak.
Terlepas apakah itu anjuran orang bijak atau orang "pinter", perkara nama konon bisa membawa hoki. Annisa Tribanowati, juga selebritas, mengganti nama jadi Anisa Trihapsari. Juga karena anjuran orang yang bilang bahwa Banowati adalah nama tokoh wayang perempuan yang dikenal genit dan jalang.
Intinya, nama itu dikhawatirkan beraura negatif dan tidak membawa keberuntungan. Entah percaya atau tidak, juga barangkali karena saat itu ia baru saja "tidak beruntung" (baca: bercerai dari suaminya, artis Adjie Pangestu), Anisa pun menggaet nama "Trihapsari" yang diyakini lebih membawa hoki. Beberapa selebritas lain juga punya nama panggung yang berbeda dari nama aslinya. Ainurrokhimah (mata yang penuh kasih sayang-dalam bahasa Arab) berubah jadi "Inul" dan seorang qori'ah (wanita pembaca Qur'an) asal Tasikmalaya pun menjelma menjadi penyanyi dangdut tersohor bernama "Evie Tamala", yang merupakan akronim dari "Evie dari (Ta)sik(ma)(la)ya".
Evie Tamala
Sewaktu baru lahir, orang tua saya sempat memberi saya nama "Jaelani". Barangkali jika tetap dipertahankan mungkin sekarang panggilan saya "Jay", bukan "Salam". Tapi karena kakak laki-laki tertua saya heboh mengkritik dan meledek memanggil bayi mungil ini dengan panggilan "Kong Jelan", seperti nama seorang kakek (engkong, dalam bahasa Betawi) renta di kampung kami, ayah pun berubah pikiran. Dipilihlah nama "Nursalam", cahaya keselamatan atau kesejahteraan dalam bahasa Arab. Alhamdulillah. Karena salah seorang tetangga yang (juga) bernama "Jaelani'" dipanggil "Jejen". Nama yang baginya sendiri bikin malu ketika di kantor. Kampungan, keluhnya. Yah, saya bayangkan kelak saat ia tua dipanggillah ia "Kong Jejen". Jadi komplitlah sudah di kampung saya ada Kong Jelan dan Kong Jejen.
Kakak laki-laki kedua saya juga dulunya diberi nama "Jamhuri". Tapi lagi-lagi karena ledekan sang kakak pertama-yang menyebutnya "Jambu Buri"--ia pun diberi nama ulang menjadi "Ahmad Satiri", memodifikasi nama seorang ulama Betawi kenamaan saat itu, K.H. Satiri Ahmad, yang memimpin perguruan Islam Ath-Thahiriyah di Kampung Melayu, Jakarta Selatan.
Sang kakak tertua sendiri bernama Khaeruddin, yang artinya dalam bahasa Arab 'agama yang baik'. Sementara itu selain kedua kakak saya tersebut orang tua kami, mungkin untuk menyeragamkan, memberi nama yang berawalan sama untuk keempat anaknya yang lain: Nurseha (cahaya kesehatan), Nurlaela (cahaya malam), Nursalam dan Nurzaki (cahaya kepandaian). Meski agak merepotkan sewaktu satu keluarga masih utuh dan berkumpul dalam satu rumah jika ada panggilan telepon, misalnya.
"Mau bicara dengan siapa?"
"Dengan Nur."