Stereotip memang kejam dan lebih kejam daripada sebuah fitnah. Ia adalah pembunuhan karakter. Buaya salah satu korbannya.
Dalam kenyataannya, buaya adalah hewan monogamis. Ia hanya akan kawin (bukan "nikah") dengan seekor buaya lainnya selama sang pasangan belum tutup usia.
Buaya juga membangun rumah tangga dengan menempati kedung (sebutan untuk sarang buaya yang terletak di dasar sungai) bersama sang pasangan. Kehidupan monogami tersebut berlangsung hingga salah satu mati. Jika takdir menentukan salah satu tutup usia dulu, barulah yang lain cari pasangan baru.
Ya, kesetiaan. Itulah pesan khusus sekaligus filosofi dari kehadiran "buaya" dalam perhelatan pernikahan adat Betawi.
Sebagai etnis asli Jakarta yang gerak kebudayaannya berbasis di sekitar Kali Ciliwung, metafora hewan buaya yang merupakan penghuni sungai terbesar di ibu kota negara tersebut cukup dapat dimaklumi keberadaannya dalam khazanah budaya etnis Betawi.
Bukankah seseorang atau suatu kaum akan mengambil permisalan atau metafora yang dekat dengan kesehariannya, dengan lingkungannya?
Sayangnya filosofi mulia tersebut ditenggelamkan oleh stereotip tidak berdasar.
Stereotip sudah kadung salah kaprah mengambinghitamkan buaya sebagai simbol playboy dan petualang cinta. Malangnya, stereotip tersebut juga tak luput dialamatkan kepada etnis Betawi yang katanya tukang kawin. Duh, sedihnya!
Tapi kadang, dalam kehidupan nyata, kebenaran tidaklah penting. Yang dianggap penting belakangan ini adalah citra (image). Tak heran para politisi dan pemimpin negeri ini sekuat tenaga membangun citra semasa mereka menjabat. Konon dengan citralah, stereotip terbangun dan mengakar.
Kadang dengan itulah kita akan dikenang dalam banyak memori orang. Tak peduli sebenarnya seberapa banyak kita berbuat. Mungkin benar seperti kata sebagian penulis bahwa "Hidup itu tidak adil."
Setidaknya tidak adil buat sang hewan buaya. Namanya kadung dilekatkan dengan sang playboy dan para penjahat cinta.