Ramainya pemberitaan seputar banjir Jakarta, berikut kisruh politik perbanjiran, di awal 2021, mengingatkanku pada nostalgia banjir bandang Jakarta pada Februari 2007, di saat tahapan kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta antara Fauzi Bowo versus Adang Darajatun.
Nostalgia 2007
Ya, hari itu. Tepat 14 tahun silam.
Nostalgia itu berkelebat sedetail-detailnya. Kendati pun saya kerap berusaha mengenyahkannya dari ingatan, seperti juga kenangan para mantan.
"Ya Allah, Mpok Minah belum mau turun juga. Padahal kan air udah sampai lantai dua rumahnya!"
"Sialan. Gue lupa bawa buntelan baju. Lupa tadi pas ngangkatin tipi!"
Seorang ibu bertampang keturunan Tionghoa menangis tersengguk di ujung pagar. Kacamatanya berembun. Ia sibuk memijit tombol ponselnya dengan tangan gemetar.
Malam Ahad. 2 Februari 2007. Hujan deras. Hawa dingin menusuk.
Warga berkumpul cemas di halaman kantor kecamatan Pancoran dan sebuah kampus universitas swasta di kawasan Pengadegan, Jakarta Selatan. Pakaian mereka seadanya. Sebagian ibu bahkan hanya mengenakan daster tipis yang menonjolkan auratnya.
Tapi rasanya saat itu tidak ada yang peduli ada apa di baliknya. Semua pandangan tertuju ke arah tanjakan.