Kitalah, dengan berbagai dalil dan argumen, yang kadang menjadikannya sebagai sumber perdebatan atau pertengkaran, yang justru memecah belah soliditas kita dan mencederai eksistensi kita sebagai umat manusia di hamparan bumi yang sama.
Hujan laksana api punya filosofi yang sama. Saat kecil, ia kawan; saat ia besar, ia lawan. Itulah juga yang harus kita waspadai.Â
Saat hanya berupa rinai (gerimis kecil) atau gerimis atau hujan lebat biasa, hujan itu sungguh bersahabat. Berbeda halnya jika berlebihan hingga menyebabkan banjir.Â
Kendati sesungguhnya, juga bukan salah hujan yang turun. Sudah kodratnya ia turun sesuai siklusnya. Lingkungan alamlah yang rusak, di mana tempat turun alami sang hujan, yang kita konversi sebagai perumahan, pabrik atau perkantoran.Â
Hujan akan turun menuju ke bawah. Jika tempatnya turun tidak ada, ia tetap akan turun dan berubah jadi genangan banjir atau genangan mengendap, dengan apa pun penyebutan atau definisi manusia atasnya.
"Panas setahun dihapus hujan sehari," demikian kata pepatah lawas dalam khazanah bahasa Indonesia.Â
Itu pepatah yang mengajarkan kita bahwa segala sesuatu yang kadang berlangsung lama bisa saja terkikis habis atau terlupakan karena suatu sebab lain, kendati sebab atau penyebab itu sekejap saja atau kecil saja adanya.
Demikian juga kesadaran kita akan kebersihan dan lingkungan hidup, yang seringkali seperti halnya pepatah itu. Mendadak tingkat kesadaran kita anjlok setelah terhempas suatu masalah. Â
Misalnya, kita yang tekun menjaga kebersihan lingkungan agar lingkungan kita tidak tergenang banjir saat musim hujan mendadak bermalas-malasan hanya karena sebab sepele, seperti tetangga selingkungan yang tidak solider untuk bekerja bakti bersama membersihkan got atau selokan yang mampet.
Jagakarsa, 5 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H