Ada istilah "ujan cina makan sambel" di kalangan masyarakat Betawi. Hal ini merujuk pada jenis hujan, baik gerimis maupun deras, yang turun namun tidak disertai mendung gelap dan matahari tetap bersinar terang. Biasanya saat hujan seperti ini muncul pelangi atau bianglala akibat pembiasan sinar matahari pada butiran-butiran air hujan yang jatuh ke bumi.
Karena kondisi terang itulah mungkin diibaratkan seperti terangnya kulit kalangan Cina atau Tionghoa, yang diibaratkan kepedesan makan sambal sehingga bercucuran air mata. Air mata itulah yang diibaratkan sebagai hujan.
Mengapa tidak disebut "ujan belande makan sambel" atau "menado makan sambel"? Mengapa harus "cina makan sambel"? Rasialiskah?
Remy Sylado dalam bukunya berjudul 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing (2003), Â dengan nama pena Alif Danya Munsyi, menafikan tudingan rasialisme tersebut dalam khazanah metafora atau ungkapan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia.Â
Menurutnya, metafora seperti itu hanya merupakan cerminan keterbatasan kosakata masyarakat pengguna bahasa Melayu atau bahasa Indonesia untuk mengungkapkan kondisi sosial atau alam di sekitar mereka, tiada maksud penghinaan.
Kendati demikian, tak urung penggunaan istilah "cina" dalam metafora tersebut bagi sebagian kalangan berkonotasi negatif, yang mengingatkan sebagian kalangan Tionghoa akan era pemerintahan Orde Baru (Orba) yang represif terhadap kalangan minoritas tersebut.
Dan di akhir masa pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), mulai diintrodusir istilah "Tionghoa" untuk penyebutan penduduk dan produk atau hal-hal terkait Cina dan "Tiongkok" untuk nama negara Cina. Termasuk juga diafirmasi di era Jokowi.
Namun, kabarnya pemerintah Tiongkok sendiri lebih memilih sebutan "China"sebagaimana penulisan dalam bahasa Inggris. Jadi, tidak heran saat ini ada varian penulisan dan pelafalan untuk negara Asia Timur tersebut yakni Tiongkok, China, Â dan Cina.
Lantas apa hubungan metafora "ujan cina makan sambel" dan kewaspadaan terhadap hujan?
Terlepas dari kontroversi penyebutan dan pelafalan tersebut, hujan sebagai suatu fenomena alam sejatinya bersifat universal yang menyatukan umat manusia di muka bumi.Â