Orang bilang daging ulama itu beracun (luhumul 'ulaama masmuumah). Jadi, berhati-hatilah memakannya.
Tampaknya ungkapan lawas itu bermakna metaforis. Kecuali jika Anda Soemanto dari Purbalingga, sang pemakan daging orang, yang kini bahkan sudah tobat dan nyantri di sebuah pesantren.
Jangan sakiti ulama, itu intinya. "Menyakiti" itu bisa dalam bentuk penganiayaan fisik, psikis atau nama baik. Termasuk juga fitnah atau hoaks atau kabar bohong yang ditujukan kepada mereka.
Ungkapan populer tersebut bukanlah hadis atau perkataan Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wasssalam (SAW). Tetapi merupakan perkataan Al-Hafidz Ibnu Asakir dalam kitab Tabyin Kadzib Al-Muftari.
Redaksional terjemahan lengkapnya adalah sebagai berikut: "Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya daging para ulama itu beracun (menggunjingnya adalah dosa besar), dan kebiasaan Allah dalam menyingkap kedok para pencela mereka (ulama) telah diketahui bersama. Karena mencela mereka dengan sesuatu yang tidak ada pada mereka, merupakan petaka besar, dan melecehkan kehormatan mereka dengan cara dusta dan mengada-ada merupakan kebiasaan buruk, dan menentang mereka yang telah Allah pilih untuk menebarkan ilmu, merupakan perangai tercela".
Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dalam kata pengantarnya untuk buku Tasawuf Modern (1939) mengisahkan penderitaannya semasa ditahan rezim Soekarno pada era 60-an dengan tuduhan berkonspirasi dengan pemerintah Malaysia untuk menggagalkan rencana Ganyang Malaysia yang dilancarkan pemerintah Orde Lama.
"Sekarang terdengar saja ucapan,"Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia." Gemetar tubuh saya menahan marah, kecil polisi yang memeriksa dan mengucapkan kata-kata itu saya pandangi, dan pistol itu ada di pinggangnya. Memang kemarahan saya itulah yang rupanya yang sengaja dibangkitkannya, tentu sebutir peluru saja sudah dalam merobek dada saya. Dan besoknya tentu sudah dapat disiarkan berita di surat-surat kabar: "Hamka lari dari tahanan, lalu dikejar, tertembak mati!"
Sang ulama besar itu ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan hingga bertahun-tahun.
Dalam penuturan Buya Hamka, proses interogasi disertai penyiksaan fisik dan mental oleh aparat rezim saat itu sedemikian berat hingga beliau sempat terpikir untuk bunuh diri. Namun sang buya akhirnya mengurungkan niatnya itu, karena sadar bahwa hal itu akan dijadikan alat propaganda rezim untuk menguatkan tuduhan tak berdasar terhadap dirinya tersebut.