Wahai Nabi Nan Mulia, engkau memang tak minta dibela
Kerna keadiluhungan budi dan darjahmu sebagai utusan Ilahi
Namun apa bukti cinta sang pencinta jika yang dicintainya dinistakan sementara ia diam saja?
Tangannya tak bergerak, terkulai
Lisannya kelu, tak bersuara
Bahkan hatinya pun tidak mampu mengingkari
Wahai Nabi Nan Mulia, engkau memang tak minta dibela
Namun jika ada sang pencintamu namun hatinya tak terusik saat engkau dianiaya, patut dipertanyakan cinta macam apa yang bersemayam di dadanya?
Jika selemah-lemahnya iman adalah mengingkari dengan hati, masih adakah iman di dada jika demikian adanya?
Wahai Nabi Nan Mulia, engkau memang tak minta dibela
Namun kamilah yang butuh untuk membelamu sekuat-kuatnya upaya
Agar kami tergolong pantas sebagai umatmu di akhir hayat kami dan di hari akhir dunia
Wahai Nabi Nan Mulia, engkau memang tak minta dibela
Namun rindu kami padamu tiada bertepi
Meskipun teramat jelas rindu dan cintamu kepada kami jauh lebih dalam tak terkira
Di saat sakaratul maut pun engkau berdoa agar hanya engkau saja yang merasakan sakitnya yang tak terperi, bukan kami, umatmu ini
Sakaratul maut itu berat, biar aku saja yang menanggungnya, demikian sabdamu penuh wira
Lantas jika kini engkau dihinakan, apakah layak kami berdiam diri?
Hingga dipaksa bungkam dan mengutuk pun tak kuasa?
Wahai Nabi Nan Mulia, engkau memang tak minta dibela
Namun bukankah perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata?
Dan pembuktian cinta sejati adalah dengan tindakan nyata
Bukan dengan ilusi segalanya akan baik-baik saja dan akan berakhir dengan sendirinya.
Jakarta, 1 November 2020 Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H