Seorang gadis belia tercenung di kamar sunyinya.
Dalam tempurung kepalanya, ada seruan:
Cinta datang dan pergi
Bekaskan nyeri dan rindu
Ternyata waktu tak kunjung mujarab
Memusnahkan rasa
Kian dipendam kian mendalam luka
Kian dilupa kian merindu gila
Dapatkah arloji diputar kembali?
'kan kuperbaiki waktu demimu, Sahabat!
Dari sudut benak yang lain, mengalun bisikan lirih:
Hujan setahun dihapus panas sehari
Ketika telunjuk menuding
Empat jari lainnya mengarah pada diri sendiri
Karang mengeras dihajar palu
Namun luluh disaput air
Aku ingin seperti pohon buah,
Dilempari batu
Tetapi memberi buah sebagai balasnya
Tapi aku manusia biasa
Punya hati dan rasa
Aku lelah, selalu salah dan mengalah
Biarlah luka ini kubawa berlari, dalam pasrah...
Di pojokan seberang, mengaung pilu:
Ah, hidup menguji siapa mukmin dan siapa kafir
Sakit menguji siapa yang peduli dan siapa yang lari
Sehat menguji siapa yang memberi dan siapa yang menadah
O, Tuhan, kini kutahu kenapa aku terlahir sendiri
Karena inilah seninya mencari kepedulian sejati di segala situasi
Nun jauh di dalam benaknya, masih dalam tempurung kepalanya, terdengar orasi lantang:
Selamat tidur, Kawan!
Jadikan malam sebagai tilam peraduan dan bukan waktu lamunan mengawang
Karena dunia tak berubah dengan lamunan
Ia bergerak karena ada tindakan
Nasib adalah dunia yang kau bentuk dengan tindakan, bukan dengan angan!
Sang gadis pening. Ia ingin tidur tenang tanpa segala percakapan gaib itu. Ia melangkah gontai ke dapur. Pisau dapur tajam mengkilat menyapanya. Melambai rindu seraya berbisik manja, "Aku adalah nasibmu, Sayang..."
Jakarta, 25 September 2020
Baca Juga: Benarkah Benyamin Sueb Bukan Betawi Asli? dan Bangsa Pemberani Tidak Tunda Pilkada?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H