Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perceraian adalah Episode Jodoh, Sesakit Apapun Itu

4 September 2020   15:59 Diperbarui: 6 September 2020   11:59 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perceraian/Sumber: pixabay.com

Bercerai, seperti juga menikah, adalah sebuah pilihan.

Bedanya, jika menikah adalah keperluan alih-alih kewajiban, maka bercerai justru tidak seperti itu. Sedapat mungkin pasangan suami istri (pasutri) yang telah menikah dianjurkan menjaga keutuhan rumah tangganya.

Bahkan, dalam ajaran agama Islam, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa perceraian adalah perbuatan halal yang dibenci Allah.

Di sini tersirat bahwa keputusan bercerai bukanlah semudah memutuskan pacar atau memutuskan hendak pakai baju apa ketika berangkat kerja atau kondangan. Terlebih lagi jika sudah ada tanggungan, yakni anak, yang merupakan buah cinta hasil perkawinan. Tentulah pertimbangannya haruslah lebih matang lagi.

Seperti kebakaran yang tak mungkin mengeluarkan asap jika tak ada api, demikian juga dengan perceraian. Jika kedua orang yang telah terikat janji suci pernikahan sudah sampai pada tahap memutuskan berpisah atau bercerai, tentu layak ditelusuri seberapa tangguh mutu atau kualitas pernikahan yang mereka jalani selama ini. Perlu ditilik sekuat apa landasan awal ketika mereka memutuskan menikah dahulu.

Apa perlunya menikah?

Alasan yang mendasar mengapa manusia perlu menikah adalah faktor kebutuhan psikologis. Sebagai makhluk sosial, manusia itu perlu berteman. Sahabat saja tidak cukup karena sifatnya yang bisa berubah-ubah atau tidak permanen.

Secara psikologis, kita memerlukan teman yang cocok dalam hal berbagi kehidupan.

Suami atau isteri adalah pasangan hidup sekaligus teman hidup. Artinya, mereka sudah berikrar baik dalam susah maupun senang untuk selalu bersama-sama, saling membantu, dan dapat saling menerima apa adanya. Seorang sahabat saya mengatakan,"Menikah itu banyak memberi, bukan banyak menerima."

Menurut Robert L. Crooks & Carla Baur dalam Our Sexuality (1990), ada sejumlah alasan mengapa seseorang memilih menikah, antara lain untuk mendapatkan suatu bentuk perasaan yang sifatnya tetap tentang bagaimana memiliki seseorang dan menjadi milik seseorang serta perasaan dibutuhkan orang lain; adanya keyakinan bahwa kedekatan dan kepercayaan dalam pernikahan dapat menjadikan suatu bentuk hubungan yang lebih kaya dan mendalam; untuk dapat melakukan hubungan seks yang sah dan wajar secara norma sosial, dan adanya harapan bahwa ia akan semakin memahami kebutuhan pasangannya, serta hubungan yang tercipta semakin harmonis seiring semakin dalam pengetahuannya akan pasangan.

Sementara itu Daniel S. Goleman dalam Emotional Intelligence (1995), yang populer karena mengenalkan konsep Emotional Quotient (EQ), mengungkapkan bahwa manusia memiliki dua otak dalam satu tempurung kepalanya. Satu otak berpikir yang lazim dikenal sebagai otak kiri, dan yang satu otak merasa atau otak kanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun