Setelah merelakan tempat duduk saya kepada seorang biksuni etnis Tionghoa (ia juga berucap,"Xie xie"), saya berdiri di dekat jendela bus. Menikmati pemandangan deretan arkade khas paduan budaya Belanda dan Tionghoa di sepanjang jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, yang berdekatan dengan kawasan Kota Tua Jakarta.
Selepas Harmoni, ketika Traja melambat karena terhalang belasan motor dan mobil pribadi di depannya, tampak pemandangan ganjil, bagi saya. Di bawah halte, tampak seorang gelandangan berkaus lusuh robek-robek berwudhu dengan air kali yang hitam dan berbau busuk.
Di sepanjang Jalan Gajah Mada hingga Harmoni mengalir Kali Mookervart, yang merupakan kanal warisan peninggalan penjajah Belanda yang terobsesi menjadikan Jakarta sebagai "kota air" atau "kota 1000 kanal" seperti Amsterdam di Belanda dan Venesia di Italia.
Dari gerakan wudhunya yang tak beraturan, saya duga ia kurang waras. Kemudian si gelandangan, di atas lembaran kardus, melakukan gerakan sholat, yang juga berantakan. Namun ia melakukannya dengan khusyuk kendati banyak mata tertuju kepadanya. Mungkin tatapan disertai beragam perasaan: jijik, kasihan atau iba.
Semula saya bergidik melihat ia berwudhu dengan air kali yang bukan saja tak menyucikan tapi juga sangat kotor dan bau. Yang ada di kepala saya adalah betapa malangnya orang itu, yang harus sholat dalam kondisi memprihatinkan dan dengan pengetahuan sholat yang terbatas pula. Kendati, jikalau ia orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), ia toh terbebas dari kewajiban sholat lima waktu.
Tapi, Allah Maha Adil, si gelandangan rupanya adalah prisma, di mana setiap orang dapat melihat keindahannya dalam berbagai sisi yang berbeda.
Seorang bapak etnis Tionghoa, yang berdasi dan menenteng tas koper, yang berdiri di samping saya tampak terkagum-kagum melihat si gelandangan.
Ia mencolek lengan petugas pengaman Traja yang berdiri di depannya.
"Eh, kamu lihat itu? Hebat ya dia!" puji si Engkoh. "Jarang-jarang orang kayak gitu di jaman sekarang. Tetap berusaha sholat."
Saya tertegun. Merasa tertampar. Mengapa saya tidak melihat si gelandangan dari sisi yang sama seperti yang dilihat si Engkoh, yang tampaknya seorang non-Muslim, itu?
Mengapa yang saya lihat adalah gelandangan malang dan kurang waras yang sholat sembarangan?