Sebagai penglaju (commuter) KRL commuter line Jabodetabek jurusan Lenteng Agung-Sudirman sejak 2010, saya mengalami berbagai situasi kondisi kepadatan transportasi umum tersebut.
Sejak era KRL odong-odong (baca: KRL Ekonomi) yang full music (baca: ramai pengamen) dan pengasong jajanan hingga era tapping in-out (penggunaan kartu kereta di gerbang masuk dan keluar) yang relatif lebih teratur dan tertib.Termasuk juga kepadatan penumpang di era sebelum PSBB COVID-19 dan di era AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru).
Di saat era AKB atau "New Normal", ketika diberlakukan protokol COVID-19 dengan pembatasan jumlah kursi yang dapat diduduki, kewajiban memakai masker dan larangan ngobrol langsung atau via ponsel di dalam kereta, kepadatan memang relatif berkurang. Namun ketika memasuki era PSBB Transisi, dengan sederetan sekuelnya, dan perkantoran Jakarta ramai dibuka kembali, berangsur-angsur kondisinya nyaris normal kembali. Alias kepadatannya nyaris menyamai kepadatan di era sebelum pandemi COVID-19.
Namun, sebagai penumpang, kami (saya dan para "anker" alias "anak kereta") memang harus banyak bersyukur.
Saya teringat salah satu humor dalam buku Mati Ketawa Cara Rusia karya Zhanna Dolgopolova (yang versi bahasa Indonesianya diberikan kata pengantar oleh mendiang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) terbitan Gramedia tahun 1980-an. Dulu saya pernah membacanya sewaktu SMP di awal 90-an.
Humor itu berkisah tentang seorang Yahudi Rusia yang datang mengeluh ke seorang terapis karena merasa rumahnya tak nyaman, dan ia merasa tak betah sama sekali.
Pada kunjungan pertama, sang terapis memintanya memasukkan seekor kambing ke rumahnya, dan memintanya datang seminggu kemudian. Meski heran, si Yahudi menuruti dan memelihara kambing itu dalam rumahnya.
Seminggu kemudian, ketika ia kembali datang, sang terapis bertanya,"Bagaimana kondisi rumahmu?"
"Parah. Rumah saya berantakan. Bagaimana ini??" jawab si Yahudi muram.