Suatu isu publik yang teredam karena riuh rendah polemik pernyataan "mudik versus pulang kampung" yang dilontarkan Jokowi adalah persoalan maraknya aksi kejahatan yang dilakukan para narapidana asimilasi yang dibebaskan berdasarkan keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly.
Suatu keputusan yang awalnya dibuat berdasarkan pemikiran untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona atau COVID-19 di dalam penjara se-Indonesia. Hal ini mengingat permasalahan umum penjara di Indonesia adalah overcapacity alias terlalu banyak penghuni dibandingkan kapasitas yang tersedia. Alhasil, para narapidana (napi) itu adalah kalangan yang paling rentan terinfeksi virus Korona.
Berdasarkan catatan Kompas.com, hingga sepekan lalu, yakni Senin, 20 April 2020, dari 525 penjara atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan (lapas), telah dibebaskan sekitar 36.641 napi asimilasi dan 2.181 napi program integrasi.
Asimilasi adalah program pembinaan narapidana dewasa dan anak dengan membiarkan mereka hidup berbaur di lingkungan masyarakat. Sementara integrasi adalah program pelepasan narapidana yang telah memenuhi syarat-syarat pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas.
Akan tetapi ramainya pemberitaan di media konvensional dan media daring (online) tentang berbagai tindak kejahatan yang kembali dilakukan para napi tersebut cukup meresahkan publik. Mulai dari kasus penjambretan, penodongan, pembegalan, pembunuhan, hingga perampokan minimarket dan gardu jalan tol.
Cakupan tempat kejadian perkara (TKP) pun terentang luas mulai dari Jabodetabek hingga berbagai kota besar dan kecil di Indonesia, seperti Surabaya, Bandung, dan Kediri.
Belum lagi disinyalir banyak napi asimilasi yang dilepaskan begitu saja, tanpa diberikan modal atau uang cukup untuk perjalanan pulang ke rumah atau kampung halaman, sehingga banyak dari mereka yang "terpaksa" melakukan tindak kejahatan untuk sekadar mendapatkan ongkos pulang atau bekal makanan selama perjalanan pulang.
Pihak kepolisian sendiri menyesalkan adanya keputusan Menkumham yang tidak dikoordinasikan dengan pihak kepolisian tersebut dan cenderung menimbulkan potensi masalah baru.
"Kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan baru karena saat dibebaskan mereka akan kesulitan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah wabah Covid-19, yang tentu saja akan berdampak terhadap aspek sosial, ekonomi, serta keamanan," menurut keterangan Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri Komjen Agus Andrianto kepada Liputan6.com.
Namun Menkumham Yasonna Laoly yang juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menampik tudingan bahwa keputusan yang ditekennya bermasalah.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!