Mulai pekan ini, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka penanggulangan COVID-19 di kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) akhirnya telah resmi terintegrasi seiring telah disetujuinya permohonan PSBB Tangerang, Depok dan Bekasi oleh Kementerian Kesehatan. Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta sendiri, sebagai wilayah sentral, telah memulai PSBB per 10 April kemarin.
Diharapkan integrasi PSBB di kawasan utama di Pulau Jawa tersebut akan memutus mata rantai persebaran COVID-19, setidaknya demikian yang diungkapkan Achmad Yurianto sebagai Juru Bicara Gugus Tugas COVID-19 di berbagai kesempatan di hadapan publik.
Pernyataan sang dokter yang juga pejabat teras Kemenkes ini sangat beralasan mengingat sedemikian pentingnya nilai sosial ekonomis Jabodetabek dalam peta konstelasi sosial ekonomi Indonesia. Termasuk juga dalam persebaran virus Corona hari ini di mana DKI Jakarta dan kawasan penyangganya seperti Bodetabek menjadi episentrum penyebaran virus Korona atau COVID-19 di Indonesia.
Seperti kata pepatah lawas, "jika ingin memusnahkan nyamuk, jangan pukul satu-satu, tapi keringkan rawanya". Dan Jabodetabek adalah rawa besar tersebut.
Sebetulnya, jika boleh berandai-andai, jika saja dahulu konsep Megapolitan yang diajukan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (1997-2007) pada 2006 disetujui Pemerintah Pusat, tentu pemberlakuan PSBB klaster Jabodetabek saat ini akan lebih cepat terealisasi.Â
Tidak perlu seruwet sekarang, dengan sistematika birokrasi yang tampaknya abai dengan laju kecepatan persebaran virus Korona yang sangat agresif dan masif.
Dalam bayangan Sutiyoso yang juga mantan Pangdam Jaya tersebut, yang tentunya berdasarkan kajian tim ahlinya, Megapolitan adalah konsep kesatuan ruang Jabodetabek ditambah Puncak dan Cianjur (Jawa Barat) di bawah koordinasi seorang menteri khusus atau menteri otorita Jabodetabek yang membawahi para gubernur dan wali kota atau bupati di kawasan yang terkait.
Saat itu, saya ingat betul, Sutiyoso mengambil contoh ibu kota Inggris yakni London dan kawasan sekitarnya yang juga di bawah koordinasi menteri khusus selain ada wali kota London sebagai pemimpin wilayah.
Alhasil, dengan adanya keterpaduan koordinasi tersebut, integrasi pembangunan dan gerak langkah Megapolitan akan lebih mandiri, cepat dan terkoordinasi. Saat itu Sutiyoso mencontohkan perluasan jalur Trans-Jakarta atau Busway hingga wilayah Jabodetabek-Puncur.
Namun tampaknya tiada gayung bersambut dan konsep Megapolitan pun lambat laun meredup dalam diskursus publik.
Belakangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011 melontarkan wacana serupa dengan konsep Megapolitan dengan kemasan visi "The Greater Jakarta" (Jakarta Raya).
Perbedaannya, wilayah cakupan penyangga DKI Jakarta dalam konsep The Greater Jakarta diperluas hingga Sukabumi, Purwakarta, dan Cirebon. Juga, tidak ada posisi menteri khusus atau menteri otorita Jabodetabek yang bertanggung jawab untuk mengoordinasikan wilayah DKI Jakarta dan berbagai kota satelit serta kawasan penyangganya.
Setelah ramai sejenak, konsep ini juga menghilang ditelan riuh rendah pro-kontra di ranah publik.
Apa pun perbedaannya, dan terlepas dari ikhtiar para penggagasnya, ide integrasi Jabodetabek dan kawasan sekitarnya agar lebih terpadu memang sangat baik dan sudah amat mendesak.
Kasus pandemi COVID-19 ini adalah pembuktian betapa hal itu benar-benar penting dan mendesak. Yang jelas lebih penting daripada wacana pemindahan ibu kota atau Proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang lebih terkesan sebagai "menggaruk bagian tubuh yang tidak gatal" dalam konteks manajemen penyelesaian masalah.
Belum lagi jika menelisik isu yang santer beredar perihal kongkalikong dan bagi-bagi proyek di kalangan internal penguasa dan kroninya terkait Proyek IKN.
Saat ini bolehlah diakui pemerintahan Jokowi yang berjargon "kerja, kerja, kerja" dalam hal-hal tertentu lebih cekatan melakukan implementasi dan eksekusi.
Namun, di sisi lain, kelemahan pemerintahan sekarang ini dalam hal konsep atau gagasan dan narasi karena ketergesaan dan fokus berlebihan pada salah satu bidang, infrastruktur, misalnya, juga tak layak dikesampingkan untuk dijadikan catatan besar. Karena kerja akan serampangan jika tak ditopang otak atau gagasan.
Pada akhirnya, sebagai bangsa, kita butuh satu kesatuan antara gagasan, narasi, dan karya atau kerja. Tak boleh dan tak mungkin salah satu aspek hanya berjalan sendirian atau difokuskan berlebihan.
Dalam konteks yang lebih spesifik, konsep Megapolitan atau pun The Greater Jakarta atau apa pun namanya kelak, tetap akan penting dibahas dan diimplementasikan, terlepas dari siapa pun penggagas dan siapa pun pelaksananya nanti atau entah kapan realisasinya.
Apa pun itu, pada akhirnya itu semua adalah untuk kemaslahatan semua pihak dan kebermanfaatan bagi nusa bangsa serta rakyat Indonesia.
Jakarta, 13 April 2020
Baca Juga: Anarko Sindikalis dan Jaga Jarak Sepembuangan Angin
Baca Juga:Â PSBB Jakarta dan Darurat Sipil
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI