Karakter orang Tegal yang tegas dan blak-blakan, apa adanya, jelas terbukti dalam beberapa hari belakangan di akhir bulan Maret ini. Itu yang ditunjukkan Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono yang berencana melakukan local lockdown selama empat bulan atas Kota Tegal sejak 30 Maret 2020 berupa pembatasan atau penutupan akses ke kota asal para perantau pengusaha Warung Tegal (Warteg) di Jakarta tersebut.
Selain karena sudah ada warga kota yang terletak di Provinsi Jawa Tengah tersebut yang meninggal dunia karena infeksi COVID-19, local lockdown atau karantina (wilayah) lokal tersebut juga dilakukan untuk mengantisipasi arus pemudik asal Jakarta yang memasuki Tegal. Saat ini di antara 1200-an kasus positif Korona nasional, sekitar separuh lebih berasal dari DKI Jakarta.
Di samping itu, beredarnya berita tentang melonjaknya angka positif Korona di Jawa Tengah yang disebabkan serbuan pemudik dari Jakarta tentu menjadi perhatian serius bagi sang wali kota yang belum genap berusia 40 tahun tersebut.
Dalam UU No. 6 Tahun 2018, Karantina Wilayah atau Lockdown didefinisikan dalam Pasal 1 dalam undang-undang tersebut sebagai “pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”.
Sementara definisi “Pintu Masuk” dalam pasal yang sama adalah “tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas negara”.
Dan tanggung jawab penyelenggaraan karantina wilayah (lockdown) yang termasuk dalam jenis tindakan Kekarantinaan Kesehatan di tingkat negara atau nasional tersebut diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Pemerintah Pusat bertanggung jawab menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan di Pintu Masuk dan di wilayah secara terpadu”.
Alhasil, memang benar sebagaimana apa yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, sewaktu muncul wacana Jakarta Lockdown dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, bahwa lockdown adalah wewenang pemerintah pusat. Memang benar, namun itu di tingkat negara atau nasional.
Jadi, apa yang dilakukan pemerintah Kota Tegal dengan istilah local lockdown atas Kota Tegal sah-sah saja dan tidak menyalahi aturan hukum yang ada.
Dalam konteks hierarki pemerintahan, tentu Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah, yang notabene atasan Wali Kota Tegal, tidak akan “merestui” tindakan Dedy Yon Supriyono jika dianggapnya melanggar regulasi yang ada.
“Restu” dari Ganjar tersebut, setidaknya dengan pengajuan istilah eufemistik dari Ganjar yakni pada awalnya “isolasi kampung” (yang kemudian menjadi "isolasi wilayah") atas rencana local lockdown dari bawahannya tersebut, dapat dibaca sebagai upaya melindungi Dedy dari tekanan pemerintah pusat yang terkesan alergi dengan wacana lockdown, hatta di tingkat apa pun.
Dan sebagai kader PDIP, sebagai partai penguasa dan partainya Jokowi sekaligus partai utama pendukung pemerintahan saat ini, Ganjar jelas tak mungkin menentang Ibu Mega sebagai pimpinan partainya atau melawan Jokowi yang merupakan atasan sekaligus rekan separtainya di PDIP.