"Depok Baru," jawabnya.
Cawang ke Depok Baru itu lumayan jauh, sepuluh kilometer lebih. Saya berinisiatif bangunkan anak muda yang duduk persis di depan si ibu yang tampak tidur dengan muka tertutup masker dan earphone menempel di telinga.
Kelihatannya sih tidur, tapi saya tahu ia pura-pura tidur, karena matanya setengah mengintip ketika saya menanyai si ibu. Agak lama, dan dengan setengah bersungut, si anak muda bangun dan kasih tempat duduk kepada si ibu.
"Gak papa kok, Mas, saya diri aja. Si masnya kan lagi tidur," kata si ibu. Rupanya ia gak enakan.
"Gak papa, Bu, duduk aja. Kasian kan anaknya," tegas saya.
"Tapi si masnya tadi gak papa kan?"
Si anak muda bermasker diam saja.
Yaelah, batin saya, gregetan. Tak tahu dia kalau kursi di KRL itu mahal, mirip kursi DPR. Banyak yang ngiler dan berebut mendudukinya.
"Gak papa kok, Bu. Kan masih jauh, padat pula. Bisa pingsan nanti anaknya," bujuk saya.
"Iya deh," kata si ibu sambil duduk dan memangku bayinya. Penumpang di sebelahnya, juga laki-laki muda, bangkit dan menyilakan si balita duduk di samping ibunya.
Tak ada ucapan terima kasih dari si ibu. Saya berhusnuzon ia lupa. Atau masih merasa tak enak hati pada si anak muda bermasker tadi.