Di KRL commuterline Jabodetabek, saya seringkali ketemu penumpang (PT KAI atau KCJ menyebutnya "pelanggan") yang kelewat sopan.
"Maaf, Mas, mau turun," kata seorang bapak-bapak usia 60-an sambil menepuk pundak saya. Saat itu kondisi padat berjejal saat jam pulang kantor di jalur arah Depok-Bogor. Rupanya ia hendak turun di Stasiun Pasar Minggu.
"Silakan, Pak," ujar saya seraya berusaha bergeser, kendati sulit sekali. Tapi si bapak bergeming, tak berusaha lewat.
"Permisi, Mas," ujarnya lagi.
"Langsung terobos aja, Pak, gak papa," kata saya sambil lebih memiringkan badan, berusaha kasih jalan mekipun sempit kepada si bapak. Dia masih kelihatan bingung, tak bergerak. Tampaknya dia sungkan meneroboskan diri di tengah jepitan penumpang.
Duh, bisa tidak turun-turun nanti, Pak! jerit saya dalam hati yang kepayahan menahan desakan penumpang lain dalam posisi yang kurang enak (baca: berisiko salah urat atau kecengklak).
Terpaksa saya setengah berakrobat geser badan ke belakang si bapak, dan dorong dia ke depan, menerobos jejalan penumpang di depan pintu. Tak lupa saya bilang, "Maaf ya, Pak!" Takut kualat euy dorong orang tua. Akhirnya si bapak berhasil turun juga. Fyuh!
Pernah juga, masih di KRL, ketemu ibu-ibu yang membawa dua anak. Yang satu masih bayi di gendongan, satu lagi usia balita, sekitar tiga tahunan. Mereka berdiri, tak dapat tempat duduk, hatta di kursi prioritas sekali pun.
Kondisinya, juga saat jam pulang kantor, berjejal. Para penumpang yang duduk, sebagian laki-laki usia muda, tampak cuek (main hape atau tidur atau merem sambil dengarkan musik via earphone).
"Ibu turun di mana?" tanya saya. Si ibu, sepengamatan saya, baru naik di Stasiun Tebet. Saat itu kereta baru beranjak ke Stasiun Cawang.