Kampret ketemu cebong di simpang jalan. Saling taksir dan kesengsem, bertukar senyum dan tawa, hingga resmilah mereka mengikat janji setia sebuana seswarga loka. Kawinlah pasangan rama sinta itu, beranak kecompret sebagai buah cinta. Inilah spesies baru bakal penguasa rimba. Kehadirannya di luar prediksi juga hukum alam semesta. Tapi hidup tak selalu manut logika.
Generasi kecompret berkawin mawin di seantero negeri rimba, titiskan wangsa dan dinasti di segala lini, di segenap sudut. Hisap madu, reguk sari pati, lahap umbi serta mangsa burung hingga hewan renik. Apa pun yang bisa dikuasai dan dikangkangi.
Suatu ketika cicit kecompret kepincut cicit canggah kampret. Asmarandana mengalun, dan mereka merasa seakan ada gen memori lama yang mengusik nurani; memori leluhur. Kenangan memang kejam. Tak musnah dibakar perkawinan, tak lekang digelontor akad kesepakatan.
Kedua sejoli kasmaran itu pun dikutuk sewangsa mereka karena dianggap menodai perkawinan agung sebagai tradisi suci nenek moyang dan, di pihak lain, menodai kemurnian ras.
"Harkat perkawinan agung leluhur haruslah dijunjung hingga langit runtuh!" pekik heroik para pembesar kecompret.
"Ras kita harus dimurnikan, tanpa sedikit pun anasir pengkhianat!" gertak lantang para petinggi kampret.
Titah niscaya dipatuhi. Turunlah fatwa murtad bagi sang romeo dan juliet. Dicaplah di dahi keduanya: "ET". Abadi, takkan terhapus hingga anak keturunan mereka beranak pinak kelak.
ET, Eks-Teman.
Duktas Pasming, 12 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H