Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hanya Perempuan yang Bisa Memahami?

26 Agustus 2012   19:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:17 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang kawan saya bilang,”Hanya perempuan yang bisa memahami.”

Sejenak saya tercenung. Memang seperti kata orang bijak,”Behind great men there are great women.” Di balik kebesaran seorang laki-laki selalu ada peran perempuan di belakangnya. Ya, karena dorongan perempuan seperti ibu atau istrilah seorang laki-laki dapat maju.

Berdasarkan riset yang dilakukan Allan dan Barbara Pease dalam Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read Maps (2001), hal ini dimungkinkan karena hormon estrogen perempuan mendorong sel-sel syarafnya menumbuhkan hubungan yang lebih banyak di dalam otak dan di antara kedua belahan otak. Inilah yang menjadikan perempuan memiliki intuisi yang lebih peka dan penginderaan yang lebih luas sehingga perempuan mampu membuat penilaian dengan begitu cepat dan tepat tentang orang-orang dan situasi mereka berdasarkan intuisi saja. Lihatlah peran Khadijah yang menyokong perjuangan Muhammad SAW menyebarkan Islam atau semangat Fatmawati, istri pertama Bung Karno, yang menjahitkan sang saka Merah Putih dengan tangannya sendiri.

Tapi apakah hanya perempuan yang Tuhan karuniai kepekaan untuk memahami? Sehingga acapkali terjadi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) selalu lelaki yang dipersalahkan? Dan dilabelkan pada keningnya stempel “egois”?

[caption id="attachment_202423" align="aligncenter" width="254" caption="Cover buku "][/caption]

“….Mama sangat menghendaki anak perempuan tatkala saya masih di kandungan….Tidak heran bila Mama selalu membelikan saya pakaian berwarna lembut yang lebih pantas untuk anak perempuan. Sebenarnya saya ingin memberontak, tetapi khawatir Mama akan bertindak lebih nekat,” ujar seorang lelaki muda.

“Nggak tahu terima kasih ya kamu,” Mama melotot saat saya menunjukkan wajah tak senang pada T-shirt merah muda yang diberikannya. “Harganya mahal, tahu? Kalau kamu nggak mau, Mama kasih baju yang gambarnya bunga-bunga.” (Lelaki yang Menangis, Akar Media, 2007)

Itulah salah satu kisah nyata seorang lelaki yang mengalami kekerasan secara psikologis oleh perempuan yang merupakan ibunya sendiri. Kumpulan kisah nyata mengenai kasus KDRT terhadap laki-laki yang disusun oleh Rini Nurul Badariah (seorang penulis dari Bandung) ini mengurai fakta bahwa perempuan juga manusia. Ia punya potensi berbuat baik sehingga derajatnya terangkat mulia sekaligus berpotensi berbuat buruk hingga terpuruk setara dengan binatang.

Sistem patriarki—yang antitesisnya adalah emansipasi perempuan—mungkin menguntungkan kaum lelaki. Namun ada paradoks di dalamnya. Persepsi bahwa kaum lelaki adalah makhluk yang superior menisbikan bahkan menihilkan realitas bahwa perempuan juga dapat berlaku sebagai penindas atau penganiaya baik secara fisik, mental atau psikologis. Toh, perempuan juga manusia. To err is human, manusia itu tempatnya berbuat salah.

Memahami perasaan, seperti juga KDRT, bukanlah masalah gender. Ia adalah masalah kemanusiaan dan peradaban. Apapun jenis kelamin orang-orang yang terlibat.

@pekerjakata

Top of Form

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun