"Karena Indonesia itu banyak banget pemuda yang mencaci maki, tapi jarang mencari solusi," ucap Edy Fajar Prasetyo kepada saya pada sesi wawancara. Apa yang dikatakannya membuka ingatan saya pada kejadian 2012 silam.Di sebuah kampung bilangan Ciputat, saya dibuat terperangah oleh seorang ibu hampir paruh baya dengan sEdykit tertatih sedang membuang sampah sembarang di selokan. Bukan satu sampah plastik, tapi sekantong sampah.Â
Hal ini membuat tangan saya sangat gatal untuk sesegera mungkin mengaktifkan gawai dan memotretnya. Lalu, mengunggahnya di laman facebook dengan kepsien yang terbilang sarkasme. Tak ada solusi, hanya caci maki.
Edy, menjadi salah satu sosok anak kampus yang kala itu saya temui menjadi pilihan anak muda inspiratif. Pertemuan saya diawali tahun 2015 lalu, dimulai saat ia hendak membina ibu-ibu warga kampung Kedaung, Tangrang-Selatan yang menjadi tempat saya ngekos bersama beberapa teman lainnya.
Bilik jendela kamar saya buka, mencoba mengintip melalui celah besi dan kaca yang saya tutupi dengan koran ini nampak sosok anak muda dengan kulit coklat muda, berkacamata, serta postur tubuhnya yang tinggi sedang asiknya berbincang dengan ibu-ibu binaanya.
Usai Edy berbincang, teman saya langsung menghampirinya yang ternyata mereka adalha teman di satu fakultas. Teman kos inilah yang kemudian memperkenalkan saya dengan Edy, hingga kami berteman sampai sekarang.Â
Dan kini, ia pun sedang singgah di negeri orang, Denmark yang mendapatkan beasiswa pembekalan pengelolaan sampah selama dua minggu.
Beruntung, di sela-sela waktunya yang padat. Saya bisa mengatur jadwal dua kali pertemuan untuk berbincang sekaligus membuat video dengannya yang kurang lebih memakan waktu hampir lima jam. Sampai akhirnya, terselesaikan proses wawancara dengannya.
Kacamata Edy Fajar, Melihat Peluang Bisnis Sampah PlastikÂ
Sosok anak muda yang wajahnya kerap mondar mandir di layar tv swasta ini, memiliki sudut pandang lain soal bisnis. Edy, selaku social entrepreneur melihat kalau bisnis itu harus memiliki dampak masif terhadap masyarakat dan lingkungan.
Di Jakarta, banyak polemik berkecamuk. Namun, dengan kacamatanya, ia mempersempit frame tersebut yang lebih dekat dengan lingkungan, yakni sampah. Menurutnya, sampah jangan hanya dilihat dari sisi negatifnya. Tapi cari sudut pandang lain seperti Selalu Akan Mudah, Pabila Ada Harapan.
Melihat dari makna tersebut, Edy pun dapat menarik benang merah kalau sampah bisa dijadikannya sebagai media untuk mengenerasikan berbagai alternatif problem solving di masyarakat.