Dua tokoh Islam dengan pengaruh besar berada dalam barisan yang sama.
Sepintas tidak mungkin melihat dua tokoh ini bersatu. Habib Rizieq begitu keras tentang hukum Islam, sedang Cak Nun lebih banyak bicara keluwesan dalam syariat. Habib Rizieq tak suka agama dicampur aduk dengan budaya, sementara Cak Nun berkali kali menertawakan ulama yang maunya serba sunnah rasul itu. Namun perlu juga dicermati, jika bicara NKRI misi mereka berdua hampir sama. Mengembalikan roh Islam yang selama ini dipinggirkan di negaranya sendiri.
Ragam suku dan budaya melahirkan banyak Ulama dengan gaya khas dalam berdakwah. Perbedaan pandangan menjadi ekstrem jika mereka dibenturkan, seolah mereka bermusuhan satu sama lain. Namun sepanjang mereka mencintai Alquran dengan benar, sangatlah mudah mempersatukan para ulama. Perbedaan adalah rahmat.
Media mainstream menjadikan Habib Rizieq identik dengan Islam radikal. Namun ketika dunia sosmed yang tidak bisa dikendalikan booming, melalui video ceramahnya yang 'menarik', Habib Rizieq bebas muncul dimana mana. Salah persepsi jika ia disebut anti UUD 45, Pancasila dan NKRI. Habib Rizieq justru mengingatkan bahwa Indonesia berdiri karena perjuangan tokoh Islam, karena itulah semestinya umat Islam tidak dianaktirikan.
Mereka yang tidak mengenal perlahan mulai memahami, bahkan tidak canggung mengungah tausiahnya dilaman facebook. Bahkan tokoh Thionghoa Jaya Suprana yang awalnya menemui Habib Rizieq sekadar untuk melindungi etnisnya dari efek kebencian FPI pada Ahok, terlihat begitu menghormati setelah mengenalnya.
Sikap yang tak disukai pada Habib Rizieq adalah caranya memandang segala sesuatu seolah hitam putih. Berteriak lantang dengan keyakinan yang dianggapnya benar, tidak terlihat kedamaian yang menyentuh dalam berdakwah. Dia lebih terkesan ingin perang ketimbang adu pintar dizaman modern ini.
Ketika kelembutan gagal melawan kezaliman, ternyata cara berdakwah Habib Rizieq menuai dukungan. Demo #411 adalah bukti, betapa Habib Rizieq menjadi bintang dan dipercaya berdiri sebagai panglima dari berbagai organisasi Islam di Indonesia.
Jika Habib Rizieq mulai menunjukkan pengaruh yang meluas, Cak Nun justru pemilik jutaan massa yang sedang 'berdiam diri'. Hampir semua orang yang menjadi saksi reformasi 98 mengenal Cak Nun, dan semua tokoh besar nusantara menghormatinya. Dia menyingkir dari hingar bingar politik nasional, memilih masuk kampung duduk besila 'menatar' anak muda indonesia.
Bukan ngambek tak dapat kekuasaan, Cak Nun justru sedang mempersiapkan generasi yang kelak dia harapkan membereskan kebobrokan moral. Cak Nun sedang mengajarkan anak muda untuk kembali bisa membedakan mana roti dan tahi. Bangsa ini telah lama dijejali tahi, hingga kemudian menganggapnya roti. Barangkali ia menginginkan Reformasi jilid II dengan caranya sendiri.
Ketika demo 411 berakhir dengan damai, tiba tiba Cak Nun bersuara lewat tulisan 'Ummat Islam Dijadikan Gelandangan di Negerinya Sendiri'. Pergerakan umat Islam dia gambarkan sebagai ungkapan kecewa karena telah lama sengaja dipinggirkan. Toleransi umat muslim sebagai mayoritas seolah semakin dikangkangi atas nama Demokrasi. Cak Nun geram dengan ungkapan 'Demokrasi tercapai sempurna kalau pucuk pimpinannya adalah tokoh minoritas'.
Sepertinya, Cak Nun berada dibarisan yang sama dengan para ulama demo #411 dan menyebut demo jutaan massa itu sebagai aksi rakaat pertama yang belum sempurna. Tulisan bernada 'jengkel' itu juga mengisyaratkan Cak Nun seakan mulai menapak langkah pertama untuk turun gunung.