Mohon tunggu...
Nurrani Fitriana
Nurrani Fitriana Mohon Tunggu... Mahasiswa - 101180195

IAIN PONOROGO

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kaidah Lahirnya Hukum dalam Statue Law System

2 Juni 2021   08:46 Diperbarui: 2 Juni 2021   09:03 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Statue Law System memiliki pandangan bertolak belakang 190 derajat dari Common Law System. Kelahiran hukum dari sudut yang lebih formil. Formalitas prosedural pembentukan hukum menjadi unsure terpenting dalam menilai legalitas hukum bagi Statue Law System. Meskipun sistem ini beranjak dari pemahaman bahwa hukum merupakan "is a cultural institution" serta kelahirannya ditengah masyarakat sebagai hasil ciptaan masyarakat (an invention of people), tetapi proses kelahiran merupakan hasil prouk yang diproses melalui jalur formil.

Kaidah-kaidah hukum yang dipertahankan sebagai pendirian dalam Statue Law System adalah sebagai berikut :

a.   Hukum Hanya Ada dalam Peraturan Perundang-Undangan Formil

Hanya hukum yang lahir dari kandungan proses formil yang memiliki legalitas sebagai prasarana hukum yang mengikat, hukum yang lahir diluar kandungan formil tersebut, dianggap sebagai hukum anak haram yang tidak memiliki validasi sebagai hukum terapan yang mengikat. Dalam sistem ini, berlaku kaidah hukum bahwa Hukum yang diakui diberikan pada "Kodifikasi hukum" yang diciptakan oleh lembaga formil legislatif.

Dalam sistem ini, hukum sengaja dibangun dalam bentuk rumusan tertulis yang disusun secara sistematik dalam Kitab Hukum Perundang-Undangan atau Peraturan. Hakim yang berfungsi melaksanakan kewenangan peradilan, sudah memiliki perangkat hukum yang pasti dan konkret. Oleh karena itu, para hakim terikat untuk melaksanakan dan menerapkannya secara kukuh, tertutup bagi hakim untuk menambah atau mengurangi substansi hukum dalam kasus konkret.

Kerja hakim dalam proses pemeriksaan perkara konkret, hanya sebatas mencocokkan unsur-unsur hukum yang terumus dalam hukum tertulis dengan kasus konkret yang diperiksanya, jika kasus perkara yang diperiksanya itu memenuhi unsur-unsur hukum tertulis yang signifikan dengan kasus itu, maka sanksi hukumnya akan dipraktikkan, dan jika tidak menutup unsur-unsurnya maka hakim tidak boleh mempraktikkan sanksi hukumnya, jadi, satu-satunya nilai ukur kebenaran legal dalam pendapat Statue Law System adalah hukum tertulis saja.

Statue Law System secara ekstrem berpegang teguh pada ajaran "Positivisme", yang mengajarkan bahwa, tidak ada hukum diluar aturan perundang-undangan. Hukum hanya aturan perundang-undangan yang sudah tersusun secara tertulis dan sistematis. Yang berwenang mutlak menciptakan hukum hanya legislative power. Hakim hanya menduduki fungsi peradilan, hanya mengadili menurut Kitab Hukum Perundang-Undangan. Dalam paham aliran ini, hakim dipandang sebagai makhluk yang tidak mempunyai hati nurani. Adil atau tidaknya putusan yang dijatuhkan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan tanggung jawab hakim, tetapi sepenuhnya menjadi tanggung jawab legislative power.

b.   Hukum Bersifat Konservatif

Lahirnya suatu norma kaidah hukum bertujuan untuk mempertahankan dan memantapkan suatu posisi keadaan dan suasana peristiwa tertentu pada suatu tempat dan waktu. Setelah keadaan itu dibenarkan dan diyakinkan oleh hukum maka akan langsung membeku dan konservatif. Bagaikan dia tidak ingin berpindah dari kesetimbangan dan kestabilan tersebut. 

Sementara pada saat itu juga, masyarakat dan nilai-nilai pemahaman terus beranjak dan berganti menjalani perubahan. Pertukaran perubahan itu, tidak pernah berhenti, tetapi berlangsung dari waktu ke waktu. Akibatnya, Hukum yang dikodifikasi, membeku tertinggal dimakan waktu dan masa. Dia tertimbun menjadi kelimat mati oleh arus perubahan yang semakin dinamis. 

Akan tetapi, oleh karena dia sudah dinyatakan sebagai satu-satunya alternatif sumber Hukum yang memiliki legalitas konservatif yang memaksa perubahan nilai mesti tunduk kepada kemantapan dan kesetimbangan yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat. Akibat, terjadi penerapan hukum yang memaksa dan melukai rasa keadilan dan kesadaran masyarakat.

c.   Hakim Hanyalah Corong Peraturan Perundang-Undangan

Bertitik tolak dari ajaran Trias Politica Montesque tentang separation of power telah meletakkan tingkatan judicial power (kekuasaan kehakiman) mutlak berdiri secara tersendiri dari bagian alat kekuasaan Negara yang lain. Berdasarkan pemisahan kekuasaan yang mutlak diantara executive power, legislative power, dan judicial power, maka yang berhak dan berkuasa untuk menlahirkan hukum hanyalah legislative power.

Mekanisme Statue Law System yang mutlak memberikan kewenangan penciptaan hukum dalam bentuk perundang-undangan kepada legislative power, telah menempatkan fungsi dan kewenangan hakim pada tatanan:

  • Hakim hanya sebagai alat atau penyambung lidah undang-undang.
  • Oleh karena itu, hakim dalam menjalankan kewenangan fungsi kekuasaan kehakiman tidak berhak dan tidak berwenang untuk menafsirkan undang-undang.
  • Adil atau tidak adil suatu ketetapan perundang-undangan harus ditetapkan hakim, walaupun berlawanan dengan keyakinan dan hati nuraninya, karena yang berhak dan berkuasa menilai adil atau tidaknya suatu hukum seluruhnya menjadi tanggung jawab legislative power.

Hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan judicial power dapat menjatuhkan putusan yang menyimpan rasa keadilan masyarakat, maka hakim harus dibebaskan dari belenggu kekejangan. Hakim harus mengambil petunjuk perubahan dan pertumbuhan kesadaran hukum masyarakat.


d.  Undang-Undang Dipersamakan Kitab Suci

Menghadapi kenyataan berbagai pengalaman dan pengamatan tentang kebenaran setiap undang-undang mengandung kelemahan, kekurangan, dan adanya berbagai lubang yang dapat dimanfaatkan sebagai jalur penyelundupan hukum, dalam hubungannya dengan seringnya rumusan undang-undang tercecer jauh dibelakang perubahan perkembangan nilai-nilai kesadaraan masyarakat, menunjukkan segi negatif yang tidak dapat dipertahankan lagi dalam pandangan Statue Law System. 

Jika fakta negatif ini dipertahankan secara kaku dan sempit berdasar dogma separation of power yang menepatkan para hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan hanya cerobong undang-undang, berarti penegakan hukum selalu akan ketinggalan zaman. 

Seolah-olah fungsi dan kewenangan kekuasaan kehakiman sengaja memperbolehkan ketidakadilan tersebar dimana-mana. Hal ini jelas bertentangan dengan amanah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa kekuasaan kehakiman harus menegakkan hukum dan keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun