Malam Kamis, 25 Juni 2014
Huahaha, malam ini aku berkhianat pada tugas. Seharusnya aku mencicil tugas, tapi… yah, aku tetap mencicilnya sih, tapi nanti saja. Sekarang aku akan bercerita.
Cerita tentang apa? Oh yeah, ini seputar Andrea Hirata dan karyanya. Aku nggak bakalan mengulas siapa itu Andrea, karena pembaca pasti sudah kenal dan biografinya sudah tersebar di mana saja. Aku juga nggak bakalan mengulas satu per satu apa saja karyanya. Aku hanya ingin berkata : Aku nge fans berat sama penulis dari Belitong itu!!!
Menurutku, karya-karyanya sangat menarik. Karena dia menggunakan bahasa yang, menurutku, lucu. Lucu secara tersirat. Kereeeen, banget. Yang membuatku kagum juga, dia mendalami sains, ekonomi dan sastra sekaligus. Aduuh, keren sekali.
Meskipun mungkin, banyak kritik juga dalam karyanya. Tapi buat aku nggak masalah. Toh, karyanya benar-benar layak untuk dinikmati dan diambil hikmahnya.
Saat aku membaca ulang Laskar Pelangi, aku menemukan keanehan : kenapa dalam isi kepala anak kecil seperti Ikal, dia bisa memasuki isi pikiran Bu Mus atau Pak Harfan. Secara teoritis, dalam penulisan sastra yang baik dan benar, seorang tokoh seharusnya berpusat pada pikirannya sendiri. Tapi itulah keunikannya. Dan karyanya, Laskar Pelangi-Sang Pemimpi-Edensor, nggak ada yang bosan jika dibaca berulang-ulang. Kenapa aku nggak menyebutkan Maryamah Karpov? Karena aku belum baca, hehehe. Ini perlu jadi resolusi saat libur nanti.
Aku lupa untuk membahas lebih dalam kalau bukan perkara tugas. Jadi, dalam tugas Apresiasi Sastra, sang dosen menitahkan tugas pembelajaran novel untuk anak SMA. Tanpa ampun lagi aku langsung membidik satu novel yang amat kusukai : Edensor. Novel ini bener-bener cocok dibaca anak SMA untuk menggalang mimpi mereka ke depan. Beneran! Soalnya, novel ini kan bercerita tentang petualangan Andrea waktu kuliah di Prancis. Saat semangat kuliahku menurun drastis, aku membaca novel ini dan tiba-tiba aku malu mendapati diriku yang begitu rapuh. Belum kuliah di luar negeri saja sudah seperti ini? Apa kata dunia?
Tapi sayang bangat, Andrea nggak nulis pengalamannya waktu kuliah S1 di Indonesia. Padahal aku juga pengen tahu pengalamannya waktu kuliah S1. Jadi aku pengen tahu apa sih yang membuatnya semangat dalam menjalani kuliah di Indonesia…. Terus apa yang membuat semangatnya untuk tetap bangkit? Siapa tahu bisa kuterapkan kalau lagi down kuliah. :v
Aku juga menyukai petualangan. Nggak ada yang lebih membahagiakan dari seorang petualang selain membaca buku tentang petualangan juga. Aku merasa mempunyai kesamaan pandangan dengan Andrea. Mimpi, beasiswa, juga life observer. Aku juga seorang pengamat hidup, loh! Jangan dikira…
Coba simak kutipan novel Edensor di bawah ini :
Sejak dulu, aku senang mengamati kehidupan. Aku selalu tertarik menjadi semacam life observer, sejak aku menemukan fakta bahwa sebagian besar orang yang salah dipahami. Di sisi lain, manusia gampang sekali menjatuhkan penilaian, judge minded. Aku suka mempelajari motivasi orang, mengapa ia berperilaku begitu, mengapa ia seperti ia adanya, bagaimana perspektifnya atas suatu situasi, apa saja ekspektasinya. Ternyata apa yang ada di dalam kepala manusia seukuran batok kelapa bisa lebih kompleks dari konstelasi galaksi-galaksi dan Kawan, di situlah daya tarik terbesar menjadi life observer. (Edensor halaman 95)
Okeeeh, keren sekali.
Dalam novelnya Cinta di Dalam Gelas, aku terkesan dengan pengamatannya di sebuah Buku Besar Peminum Kopi. Beneran, aku pengen liat buku itu kalau benar-benar ada.
Aku juga mengalami paradoks kedua seperti Andrea :
Sering aku merasa heran. Kawan-kawanku The Brits, Yankee, kelompok Jerman, dan Belanda adalah para pub crawler kawakan. Mereka senang bermabuk-mabukan. Tak jarang mereka mabuk mulai Jumat sore dan baru sadar Senin pagi. Sebagian hidup seperti bohemian, mengaitkan anting di hidung, mencandu drugs, musik trash metal, berorientasi seks ganjil, dan tak pernah tekun belajar, namun mereka sangat unggul di kelas. Aku yang hidup sesuai dengan tuntunan Dasa Dharma Pramuka, taat pada perintah orang tua, selalu belajar dengan giat dan tak lupa minum susu, jarang dapat melebihi nilai mereka. Dengan ini, kutemukan paradoks kedua, dalam diriku sendiri. (Edensor halaman 111-112).
Hahaha. Kalimat ini sungguh cerdas dan menggelitik. Dan parahnya lagi, sesuai banget dengan aku! Inilah paradoks yang sering kukatakan. Bukan perkara gaya hidupnya yang kebarat-baratan itu, tapi karena aku juga jarang dapat melebihi nilai dari orang-orang di sekitarku. Nilai seseorang yang menjulang tinggi seperti bintang di langit juga terkadang mematahkan semangat. Hehehe. Aku memang kurang keren secara akademik, tapi aku juga nggak pernah menggampangkan mereka. Pokoknya aku menjalani semuanya sebisaku dan semaksimal mungkin. Huft…
Sebenarnya, ada pertanyaanku yang sampai saat ini belum terjawab dan ingin kutanyakan langsung pada Andrea. Di novel Cinta di Dalam Gelas, kenapa Enong alias Maryamah sama sekali tak pernah mengucapkan terima kasih pada Ikal? Seolah-olah Ikal yang terlalu berempati pada Enong. Kalau kubaca dan kuresapi dalam-dalam, sebenarnya pengorbanan Ikal untuk Enong itu banyak sekali, lho. Terlepas dari kisah ini asli atau fiksi. Toh, biar gimana juga, Enong seharusnya mengucapkan terima kasih pada Ikal!
Aah, gara-gara ngerjain tugas Apresiasi Sastra, aku jadi teringat soal karyanya Andrea lagi. Wkwkwk. Salahku sendiri, sih. Tugas apapun yang berbau sastra pasti kukerjakan duluan. Soalnya menyenangkan, sih.
Aku nggak tahu apa di semester berikutnya masih belajar tentang sastra. Entahlah, drama mungkin. Menurutku pentas drama itu agak menyebalkan. Proses latihannya itu lho, yang lama. Padahal tampilnya cuma dua jam. Lebih asyik kalau diskusi mengenai karya apa… gitu. Tentang naskah dramanya itu sendiri.
Kalau Andrea memeluk mimpinya ke Prancis, aku memeluk mimpiku pergi ke Jepang. Ke belahan bumi Eropa juga. Aku terkesan membaca Edensor dan 99 Cahaya di Langit Eropa yang bercerita tentang kemegahan dan keindahan Eropa. Duuh, semuanya membuatku ngiler. Ngiler!
Aku pengen mewawancarai Andrea. Mungkin dia juga sudah bosan diwawancara, jadi aku pengen ngobrol santai seputar karyanya aja. Mungkin aku bakalan bertanya,”Mas Andrea, apa zaman Mas dulu media sosial sudah berkembang seperti ini? Menurut Mas, bisa nggak sih media-media itu memelihara mimpi kita? Dalam mencari beasiswa, mungkin.”
Dan mungkin Andrea akan menjawab seperti ini,” Saya tidak tertarik dengan teknologi. Kalau saya penggila gadget, pasti saya akan lebih sibuk mengunggah foto saya sewaktu di Prancis di Instagram daripada menggarap Edensor ini.”
Hehehe. Itu menurutku aja, lho. Setelah berhasil melihat Raditya, resolusiku berikutnya adalah bertemu Andrea Hirata.
Kalau Andrea berterima kasih pada Pak Balia, yang menumbuhkan mimpinya untuk belajar sampai ke Prancis, maka aku akan berterima kasih pada temanku saja. Seingatku dulu, nggak ada guru yang membuatku berani bermimpi. Mimpi itu justru muncul dari kedua temanku. Kalau suatu saat nanti aku berhasil ke Jepang dan Prancis, terima kasih kuucapkan pada Nadia Syafaati Ulya, atau yang biasa kusapa Mbak Dea, yang mengenalkan aku pada komik Jepang sehingga akhirnya aku menyukai negeri Matahari Terbit itu. Tak lupa pada Ichwan, yang menyalurkan obsesiku pada komik Jepang dengan komik-komik yang dulu sering dia pinjamkan padaku. Haha, doumo arigatou…
Entahlah, aku bisa atau tidak ya, meraih mimpiku. Tapi Arai bilang, bermimpi saja, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H