Mohon tunggu...
Nisrina Haqque
Nisrina Haqque Mohon Tunggu... Pengajar dan pembelajar. -

Seorang pembaca dan pembelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum dalam Genggaman Mahasiswa Kependidikan

13 Desember 2014   21:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:22 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seluruh masyarakat Indonesia sedang geger karena pergantian kurikulum 2013 yang memutar arah kembali ke kurikulum 2006. Praktisi pendidikan, guru, orangtua, siswa, dan elemen pendidikan lainnya kelimpungan dibuatnya. Namun masih ada satu elemen pendidikan lagi yang merasa diberi harapan palsu karena pergantian kurikulum ini: mahasiswa kependidikan.

Seperti yang kita ketahui bersama, kurikulum 2013 diterapkan di 6.221 sekolah sejak tahun pelajaran 2013/2014 dan di semua sekolah di seluruh tanah air pada tahun pelajaran 2014/2015. Namun kini, Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan menghentikan pemakaian sementara kurikulum 2013 karena penerapannya yang belum optimal. Hal ini tentu menuai berbagai opini pro dan kontra mengenai keputusan tersebut.

Dalam hal ini, mahasiswa kependidikan ikut kecipratan dampaknya, karena basis utama mahasiswa kependidikan adalah menyiapkan lulusannya menjadi seorang guru. Yang paling berpengaruh adalah bagi mahasiswa yang saat ini sedang mengerjakan skripsi. Saya baru menerima kabar dari senior saya yang sedang risau, karena sekolah tempatnya meneliti untuk skripsi akan kembali ke kurikulum 2006, padahal topik yang ia ajukan mengenai kurikulum 2013. “Aku harus mengubah topik atau mencari sekolah baru?” tanyanya dengan suara yang gelisah sambil tak henti memijit ponselnya untuk mencari informasi. Berhubung tidak dapat memberikan solusi yang jitu, saya malah sibuk mewawancarai dia tentang pengerjaan skripsinya. Saya jadi ikut prihatin, lha, nanggung kok.... ibarat makan buah simalakama. Dua-duanya sama-sama menyisakan risiko tersendiri.

Ibarat remaja, semester saya terbilang masih tanggung. Belum tergolong tua, tapi juga tidak baru lagi di kampus. Selama lima semester kuliah, kami telah dibekali pengetahuan tentang kurikulum 2013. Semua teks bahasa Indonesia pun menganut kurikulum 2013. Saat ada isu pergantian kurikulum ini, sebagian mahasiswa yang jurusannya kependidikan seolah kebakaran jenggot. Aduh, bagaimana ini? Kalau PPL nanti bagaimana? Apa yang harus digunakan? Teman-teman seperjuangan mulai ribut dan terserang panik, dan semua dosen kebanjiran pertanyaan dari kami. Belum ada jawaban yang memuaskan dari dosen kalau menurut parameter saya. Ya, kalian lanjutkan saja, kan teks yang ada di kurikulum 2013 nggak jauh dengan kurikulum 2006...hanya bedanya banyak yang diintegrasikan, misalnya teks ini masuk ke yang ini...

Saya pun memutuskan untuk, yah, sudahlah, anggap saja kurikulum 2013 ini sebagai ilmu. Saya sendiri tidak keberatan untuk mempelajari ulang semua teori di kurikulum 2006. Dan sebenarnya, saya senang apabila kurikulumnya diganti. Karena jam terbang mata pelajaran sastra dalam bahasa Indonesia akhirnya kembali normal! Dalam kurikulum 2013, jam sastra dikurangi. Ini tentu sangat tidak bijak. Guru yang baik, tentu tahu apa peran sastra untuk memberi amanat dan meluruskan moral siswa. (Silakan, anda boleh setuju atau tidak.)

Saya pikir, mungkin ini saatnya mahasiswa kependidikan dibentuk memiliki kemampuan yang lebih. Mengerti kurikulum 2013, sekaligus mahir di kurikulum 2006. Sehingga apapun kurikulum yang nanti dicanangkan pemerintah, guru dapat mengikuti dengan mudah. Dan untuk membangun bibit-bibit guru seperti itu, mahasiswa kependidikan adalah bibit yang paling mudah karena paling awal dalam mengantisipasinya.

Saya masih ingat benar perkataan guru Fisika saya saat SMP. Beliau mengatakan, kurikulum terbaik menurut beliau adalah kurikulum 1975. Selain itu, beliau kurang setuju, namun saya lupa apa alasannya. Sayang, saat ini beliau sudah tiada. Padahal, saya ingin mendengar pendapat beliau mengenai pergantian kurikulum ini. Saya jadi kepikiran, bagaimana jika saat ini kita menggunakan kurikulum 1975 saja seperti yang guru saya katakan? Hehehe. Mungkin orang akan berpendapat, ah, kurikulum itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ya kalau menuruti keinginan masing-masing, mengapa kita tidak meniru negara Jepang yang tidak pernah menggonta-ganti kurikulumnya? Toh pada akhirnya, yang lebih penting adalah metode pengajaran guru yang asyik dan menyenangkan.

Salam hangat dari kami, yang sedang menyuarakan suara hati perihal kurikulum. Karena suara hati tak dapat didengar, telah saya perdengarkan melalui tulisan ini. Terima kasih. :D

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun