Mohon tunggu...
Nisrina Haqque
Nisrina Haqque Mohon Tunggu... Pengajar dan pembelajar. -

Seorang pembaca dan pembelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jomblo!

25 Juli 2015   21:14 Diperbarui: 25 Juli 2015   21:14 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Saat anak-anak sekolah bertemu, lalu menemukan kesamaan dengan beberapa anak lain, secara tidak sadar mereka akan sering berkumpul dan mencari nama untuk menggambarkan ikatan persahabatan mereka. Mereka menyebutnya dengan istilah geng. Gengtor; nama untuk geng bermotor yang menyukai motor dan terobsesi dengan motor. Gengdut; penyuka musik dangdut. Atau yang bernama agak keren, seperti geng Cheezy; kumpulan penyuka keju yang gaul atau Wingardium Levi-ousa; penggemar Harry Potter. Mereka yang bertemankan bayangan biasanya tidak bergeng.

Saat SMP dan SMA, rasanya hal itu tidak salah dan semacam lucu untuk dikenang. Tetapi saat kuliah, rasanya tabu untuk menyebutnya geng. Pertama, itu menunjukkan kekakuan dalam bergaul, dan kedua, itu bukan tindakan manusia yang hampir beranjak dewasa. Meskipun pada kenyataannya mahasiswa juga membentuk lingkaran persahabatan karena persamaan minat atau nasib, namanya pun berganti. Bukan geng, namun perkumpulan, komunitas, atau klub. Yang anggotanya bisa keluar masuk dan tentu tidak sekaku geng.

Mungkin ini jugalah yang gue alami. Gue tiba-tiba menemukan diri gue bertemankan dengan tiga makhluk menyedihkan yang saling melengkapi hidup gue selama menimba ilmu di perguruan tinggi ini. Ada Sakti, anak Fisika teladan yang lebih sering jalan-jalan daripada kuliah. Lalu Laela, anak Hukum yang santai dan super kocak. Ditambah gue dan Dimas, yang satu SMA dan kini satu jurusan lagi di universitas. Entah bagaimana awalnya kami bisa bertemu, lalu menemukan nasib yang sama sebagai sesama jomblo.

Jomblo. Persamaan yang mengenaskan. Perkumpulan yang sama sekali nggak keren.

“Kita mau sampai kapan sih kayak gini terus?” tanya gue suatu kali saat kami berkumpul di tengah lapangan Simpang Lima. “Udah semester tujuh nih.”

“Kenapa tiba-tiba ngomongin itu, Ren?” tanya Dimas. “Aku happy-happy aja tuh.”

“Gue juga sih, tapi..,” gue mengalihkan pandangan pada anak perempuan yang bermain sepatu roda dengan riang. “Rasanya ada yang aneh kalau sampai setua ini belum menggandeng pasangan juga...”

“Kalau kita sih gampang. Tinggal milih!” celetuk Sakti sambil menyendok wedang ronde. Ia lalu tos dengan Dimas. “Tapi menurut aku, Ren, itu bergantung sama kita juga.”

“Maksudnya?”

“Ya kalau kamu memaknai cinta dengan mudah, pacaran saja dengan semua orang. Putus, cari lagi. Tapi ada juga orang yang berhati-hati memilih cinta. Kalau bisa ya, satu untuk selamanya.”

Gue mengangguk. “Maksud elo, kita masih jomblo karena kita adalah tipe yang kedua?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun