Suatu kali, aku berdiskusi dengan seorang teman via telepon. Perbincangan yang mengalor ngidul itu akhirnya bermuara dalam suatu topik : seperti apa sih karya sastra yang bagus, menarik, dan ‘mengena’ itu?
Sebenarnya tak ada jawaban yang pasti, karena setiap orang pasti memiliki pendapat masing-masing. Apalagi, dalam sastra tak ada yang benar atau salah. Jadi, jawaban apapun sebenarnya sah-sah saja. Tapi sepertinya isi pikiran kami bertolak belakang mengenai hal ini.
Menurutku, suatu karya itu dianggap bagus, yah, kalau pembacanya bisa mengingat karya pengarang yang dimaksud. Jadi aku menekankan pada keabadian sebuah karya. Aku mengambil contoh puisi karya Chairil Anwar. Misalnya, hanya dengan mendengar kata-kata : aku ini binatang jalang. Atau aku ingin hidup seribu tahun lagi, pasti pendengarnya langsung tahu kalau itu adalah bagian dari puisi Aku yang dibuat oleh Chairil Anwar. Jadi, aku menyimpulkan bahwa puisi itu bagus, menarik, karena berhasil bersemayam dalam benak orang-orang. Setelahnya, aku teringat pada sebuah prosa, Laskar Pelangi. Apa yang anda bayangkan setelah aku menyebutkan judul novelnya saja? Pasti tentang kehidupan sepuluh anak miskin di Belitong yang berjuang demi pendidikan mereka. Bener, kan? Itulah yang saya maksud dengan sebuah karya sastra yang ‘mengena’. Hanya mendengar petikan atau judulnya saja kita sudah bisa tahu karya apa yang dimaksud. Jelas ini merupakan sebuah kebanggan tersendiri bagi sang penyair atau pengarangnya.
Sedangkan teman saya menganggap sebuah karya itu ‘mengena’ jika pembacanya mengeluarkan air mata saat berhadapan dengan karya yang dipegangnya. Makanya dia selalu membuat cerita dengan gaya bahasa yang puitis dan melankolis begitu, maksudnya supaya pembaca terlarut dalam cerita dan cerita yang dibuatnya menyentuh hingga ke dasar kalbu. Aku menyanggah pendapatnya. Siapa tahu setelah membaca karya itu, pembacanya menangis hingga terisak-isak, lalu hari berikutnya dia lupa kalau dia pernah menangis membaca karya itu. Tapi temanku menyanggah lagi. Katanya nggak mungkin pembaca itu lupa dengan sebuah karya kalau dia pernah membacanya sampai menangis. Berarti karya itu begitu menyentuh hingga ke dasar kalbunya hingga dia berlinangan air mata saat membacanya. Begitu. Kalau diingat-ingat lagi, aku juga nangis waktu baca Laskar Pelangi. Apalagi pas nonton filmnya. Nangiiiis, banget. Aku emang melankolis sekali. Tapi aku kagum dengan gaya penceritaan temanku ini kalau menyangkut perasaan. Bisa detail dan puitis sekali. Aku nggak bisa sedetail dan sepuitis itu. Biasanya lugas saja.
Hmm…. Tentu masih banyak pendapat yang lain lagi. Kalau dikumpulkan, pasti rame banget. Aku sendiri bukan seorang yang mengerti banget soal sastra, cuma sedikit senang membaca prosa-prosa baik yang masa lalu maupun yang genrenya populer. Asyik banget. Nggak rugi mempelajari sastra. Selain menyenangkan, kata dosenku, sastra itu bisa melembutkan jiwa. Mungkin jiwaku terlalu lembut kali ya, makanya aku jadi seorang yang melankolis gini. #Abaikan
Akhir kata, apapun yang terjadi, kita tetap berkarya! Salam santai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H