Pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00 WIB, para gerombolan tentara yang disokong oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melancarkan aksinya yang diberi nama"Gerakan 30 September" atau disingkat G-30-S. Gerakan ini berhasil menewaskan enam perwira tinggi dan seorang perwira menengah Angkatan Darat. Para korban tersebut ialah :
- Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
- Mayor Jenderal TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
- Mayor Jenderal TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
- Mayor Jenderal TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
- Brigadir Jenderal TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
- Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
- Letnan Satu CZI Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal TNI Abdul Haris Nasution)
Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dengan melompati tembok kamarnya, namun putri keduanya yang bernama Ade Irma Suryani Nasution tertembak oleh berondongan peluru dari senapan salah satu pasukan Tjakrabirawa dan menghebuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 6 Oktober 1965 pada usia 5 tahun. Gerakan ini juga menewaskan beberapa orang lainnya yaitu :
- Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri dr. Johannes Leimena)
- Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
- Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Bripka Karel Satsuit Tubun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, bersama dengan ketujuh Pahlawan Revolusi. Sedangkan Kolonel Katamso Darmokusumo dan Letkol Sugiyono Mangunwiyoto dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta.
Sehari setelah kejadian itu, Pangkostrad Mayjen Soeharto pun meminta Kolonel Sarwo Edhie dan pasukannya untuk menumpas tragedi yang menewaskan sebanyak 8 anggota Angkatan Darat di Jakarta dan 2 anggota Angkatan Darat di Yogyakarta ini. Penumpasan terjadi hingga tanggal 4 Oktober 1965 dimana jenazah para Pahlawan Revolusi ditemukan di sebuah sumur tua yang berada di kawasan Lubang Buaya, Jakarta. Sehari kemudian, para jenazah Pahlawan Revolusi itu dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Hingga saat ini, belum jelas siapakah dalang sebenarnya dalam tragedi yang menewaskan beberapa orang ini. Setahun setelah kejadian ini pada tahun 1966, mahasiswa Universitas Indonesia yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menuntut Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI. Aktivis angkatan 66, Soe Hok Gie juga tergabung dalam KAMI. Dan akhirnya, pada saat pemeritahan Presiden Soeharto, PKI menjadi partai terlarang hingga saat ini. Para simpatisannya pun dieksekusi mati seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzaman, Untung Syamsuri, dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H