Marx adalah orang pertama yang menyatakan bahwa kelas buruh harus menjadi subjek dari revolusi untuk mengubah tatanan dunia menuju sosialisme. Ia menyebutkan bahwa perjuangan kaum buruh proletariat (buruh) menuju revolusi untuk menhancurkan kapitalisme karena menurutnya kelas buruh merupakan kelas yang paling menderita dalam tahap kapitalisme. Buruh mengalami alienasi, akibat dari sistem kapitalisme yang hanya menguntungkan bagi para pemilik modal, dan benar, karena pada saat, kapitalisme menjadi ideologi utama yang dianut oleh kebanyakan negara, dan para buruh tidak lagi menjadi kekuatan yang menakutkan bagi para kapitalis. Bahkan, kaum buruh merupakan bagian dari kekuasaan yang melanggengkan kapitalisme, seperti yang terjadi di inggris saat ini.
Fenomena ini hanya sebagian kecil (mungkin hanya di inggris) karena dibelahan dunia lain, kaum buruh masih menjadi kelas tertindas, dan subordinat dari kekuasaan kapitalisme. Berbagai upaya mereka melakukan untuk memperjuangkan hak hakya, seperti demonstrasi dan pemogokan massa. Momentum hari buruh internasional, yang jatuh pada 1 Mei dijadikan saat yang tepat bagi mereka untuk melakukan itu semua.
Meskipun Marx bukan dari kalangan buruh, perjuangan sepanjang hidupnya tercurahkan untuk memperbaiki kondisi kaum buruh, khususnya dan tatanan dunia pada umumnya. Konteks sosio-politik pada masanya sangat berjaya bagi marx sehingga ia banyak mengungkapkan teori teori berkaitan dengan perjuangan kaum buruh di tengah kapitalisme yang menindasnya. Marx hidup pada zaman revoulsi industri ketika kelas sosial buruh telah tercipta . Hal tersebut terjadi akibat sistem kapitalisme yang mengotak otakan manusia ke dalam kelas penguasa (modal) dan kelas pekerja. Kelas pekerja pada masa revolusi industri inilah yang disebut buruh.
Sebagai kelas terbawah yang tidak memiliki modal dan penguasaan terhadap alat produksi. Kaum buruh mengalami keterasingan dan ketertindasan karena eksploitasi oleh para pemodal. Karena kondisinya sebagai kelas yang tertindas, bagi marx kelas buruhlah yang harus menjadi subjek revolusi perubahan. Revolusi dalam rangka menghancurkan sistem kapitalisme, dan memangun tatanan dunia baru, yang disebut oleh marx sebagai masyarakat tanpa kelas komunisme (cita cita utopis marx yang sampai sekarang belum terwujud).
Marx tidak hanya pandai berteori, dia juga aktif berjuang menyadarkan kaum buruh untuk sadar dan bersatu mewujudkan revolusi. Hal itu terefleksi dalam gerakan Marx yang aktif dalam usaha membentuk organisasi buruh. Asosiasi buruh internasional 1 tahun 1864 menjadi asosiasi atau organisasi buruh terbesar pertama, penulis anggaran dasarnya adalah Karl Marx sendiri. Meskipun gagal mewujudkan cita cita Marx, organisasi itu menjadi prototip bagi gerakan buruh dunia.
Saat ini era keterbukaan politik merupakan momentum yang tepat bagi posisi tawar atau representasi aspirasi politis kaum buruh. Kaum buruh memiliki ruang yang luas untuk dapat mengorganisasikan diri dalam blok aspirasi atau kepentingan di posisi kekuasaan atau pengambilan keputusan. Hal dapat diwujudkan dengan berpartisipasi di parlemen atau bahkan di pemerintahan. Akan tetapi, ada beberapa kendala subjektif yang menghambat menguatnya partisipasi politik.
Pertama, lemahnya rekonsolidasi organisasi persatuan kaum buruh dari lingkup lokal, regional, ataupun nasional. Hampir sembilan tahun reformasi bergulir, kaum buruh di indonesia tidak juga mampu membangun organisasi buruh persatuan, baik yang berwatak perserikatan mapun gabungan yang memiliki perspektif ideologi "kelas".
Berbagai organisasi "jejaring" buruh skala nasional umumnya berwatak organisme sosial-ekonomi atau bahkan administatur keorganisasian. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika ada inisiatif dari aktivis perburuhan untuk membentuk alat perjuangan politik di parlemen dengan mengikuti pemilu, seperti PBSD ( Partai Buruh Sosial Demokrat ) tidak mendapatkan dukungan optimal dari masa buruh.
Hal ini karena tingkat kesadaran buruh masih berkutat pada kesadaran demokraktik, benar benar optimal berjuang melalui jalur politik parlemen atau ekstraparlemen untuk memperjuangkan aspirasi, partisipasi, dan kepentingan buruh.
Kedua, masih lemahnya solidaritas mekanisme, organisasi, dan kelas kaum buruh di indonesai. Selama ini antar komunitas atau kelompok buruh memiliki "ego-eksistensi" yang sulit didorong menjadi energi solidaritas kolektif untuk memperjuangkan posisi sosial kaum buruh vis a vis kekuasaan ( negara/modal ). " ego-eksistensial" ini termasuk mengotak-ngotakkan tipologi kaum buruh dalam identitas "buruh kerah putih" dan "buruh kerah biru" atau buruh "berdasi" dengan buruh "tidak berdasi". Ketika kelompok tertentu kaum buruh terkena dampak kebijakan yang merugikan dari kekuasaan modal atau negara, tidak tumbuh solidaritas akbar dari kelompok buruh yang lain. Contohnya, demonstasi besar-besaran mantan karyawan PT DI yang tegolong buruh "kerah putih" tidak mendapatkan dukungan dari organisasi atau massa yang tergolong buruh "kerah biru". Padahal, status sosial mereka adalah sama dalam relasi kuasa modal dan kerja.
Kendala subjektif tersebut sebenarnya dapat dikikis jika terjadi proses edukasi politik di kalangan kaum buruh secara masif, sistematis, independen, dan progresif. Edukasi politik yang selama ini dijalankan oleh berbagai organisasi buruh umumnya bersifat "normatif" dan "radikal" hanya membelajarkan kaum buruh tentang metode advokasi hak hak subsistem (penghidupan). Untuk meningkatkan kesadaran demokratik kaum buruh, diperlukan model edukasi politik "transformatif", yang mengajarkan kaum buruh tentang wacana, ide, program dan isu yang mengandung analisis sosial dan teori perubahan sosial. Akan tetapi, model edukasi politik transformatif kaum buruh selama ini hanya dilakukan oleh segelintir orang atau aktivis perburuhan dari kalangan LSM ( Lembaga Swdaya Masyarakat ) atau gerakan ekstra-parlementer lainnya. Hal itu pun lebih berorientasi proyek, bukan pada orientasi pembebasan sosial.