Mohon tunggu...
Nur Qifthiyyah
Nur Qifthiyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bermain game

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

PENDIDIKAN INKLUSIF: Satu Kelas Beragam Tantangan, Kisah Pendidikan Inklusi di Samarinda

29 Oktober 2024   09:45 Diperbarui: 29 Oktober 2024   10:23 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 dengan tegas menyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan." Ketentuan konstitusional ini menegaskan bahwa hak atas pendidikan merupakan hak dasar bagi seluruh warga negara, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam rangka merealisasikan amanat ini, pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan konsep pendidikan inklusif melalui berbagai kebijakan yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif. Kebijakan-kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan sistem pembelajaran yang adil, setara, dan tanpa diskriminasi.

Pendidikan inklusif merupakan pendekatan di mana anak-anak berkebutuhan khusus dan siswa reguler belajar bersama-sama dalam satu lingkungan pendidikan. Tujuan utamanya adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak untuk berkembang secara maksimal, baik dalam aspek akademis maupun sosial. Melalui interaksi dengan siswa reguler, anak-anak berkebutuhan khusus diharapkan dapat mengembangkan keterampilan sosial yang lebih baik, sementara siswa reguler diajak untuk lebih memahami dan menghargai perbedaan.

Namun, implementasi pendidikan inklusif di lapangan masih menemui banyak tantangan, termasuk di wilayah Samarinda . Berdasarkan hasil observasi di salah satu sekolah di daerah tersebut, praktik pendidikan inklusif belum berjalan optimal. Meskipun anak-anak berkebutuhan khusus telah belajar bersama siswa reguler dalam satu kelas, mereka masih menghadapi banyak kendala, terutama dalam hal sarana dan prasarana. Fasilitas yang mendukung pembelajaran inklusif, seperti alat bantu pengajaran dan ruang belajar yang ramah disabilitas, masih sangat terbatas. Sering kali, anak-anak berkebutuhan khusus harus membawa alat bantu mereka sendiri karena pihak sekolah belum mampu memenuhi kebutuhan mereka.

Selain itu, sistem evaluasi yang diterapkan saat ini juga belum memperhatikan perbedaan kemampuan siswa. Meskipun anak-anak berkebutuhan khusus belum sepenuhnya menguasai materi, mereka tetap dinaikkan ke kelas berikutnya bersama siswa reguler. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa siswa berkebutuhan khusus tidak mendapatkan penilaian yang adil dan sesuai dengan perkembangan mereka. Oleh karena itu, perlu adanya penyesuaian dalam sistem evaluasi dan kenaikan kelas bagi siswa inklusif. Evaluasi yang disesuaikan, seperti bentuk soal yang berbeda dan kriteria penilaian yang lebih fleksibel, akan membantu memastikan anak-anak berkebutuhan khusus belajar sesuai dengan kemampuan dan perkembangan masing-masing.

Selain keterbatasan sarana dan sistem evaluasi, bullying juga menjadi masalah yang sering terjadi. Anak-anak berkebutuhan khusus sering kali menjadi sasaran olok-olokan dari teman-teman sekelasnya.Hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental mereka, tetapi juga menghambat proses belajar mengajar di kelas inklusif. Para guru mengaku kesulitan mengelola kelas yang heterogen, di mana mereka harus menyeimbangkan perhatian antara siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus, tanpa memiliki pelatihan khusus yang memadai untuk menghadapi situasi tersebut.

Sebagai mahasiswa, saya melihat bahwa pendidikan inklusi adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara. Namun, tanpa dukungan yang komprehensif, pendidikan inklusi akan sulit terealisasi dengan baik. Pemerintah daerah Samarinda perlu memberikan perhatian lebih terhadap alokasi anggaran untuk pendidikan inklusif, khususnya dalam penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Selain itu, perlu adanya revisi kebijakan terkait sistem kenaikan kelas, agar anak-anak berkebutuhan khusus dapat dinilai berdasarkan perkembangan mereka yang spesifik.

Tidak hanya itu, program pelatihan bagi guru juga harus menjadi prioritas agar mereka mampu menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mengelola kelas dengan lebih baik. Para guru perlu dibekali dengan kemampuan untuk menghadapi beragam kebutuhan anak-anak dalam kelas, termasuk teknik-teknik pembelajaran yang adaptif. Pendidikan masyarakat juga sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menghormati dan mendukung keberagaman, sehingga anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar tanpa rasa takut diolok-olok atau didiskriminasi.

Pendidikan inklusif di Samarinda masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kolaborasi antara pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat sangat diperlukan agar hak setiap anak atas pendidikan yang berkualitas dan inklusif dapat terpenuhi. Dengan langkah-langkah yang konkret, kita dapat mewujudkan masa depan yang lebih adil dan setara bagi semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. 

Sebab, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, "Setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan secara inklusif."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun