Mohon tunggu...
Nur Patimah
Nur Patimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1

NIM: 43221120052 | Program Studi: Sarjana Akuntansi | Fakultas: Ekonomi dan Bisnis | Jurusan: Akuntansi | Universitas: Universitas Mercu Buana | Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Diskursus G Peter Hoefnagels pada Skema "Criminal Policy" di Ruang Publik di Indonesia

6 Desember 2024   22:05 Diperbarui: 6 Desember 2024   22:09 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan secara menyeluruh, termasuk penyebab, dampak, dan cara penanggulangannya. Dalam pendekatan ini, penyebab kejahatan dapat dikelompokkan menjadi lima aspek utama: biologis/psikologis, sosiologis, teori penyimpangan budaya, teori kontrol sosial, serta teori lain seperti labelling theory, conflict theory, dan critical criminology. Setiap teori memberikan sudut pandang yang unik terhadap faktor yang memengaruhi perilaku kriminal, baik dari sisi individu maupun pengaruh lingkungan sosial. 

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidan,  kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari "kebijakan hukum pidana" (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya juga adanya kebijakan politik kriminal. Hal ini demi kebijakan penegakkan hukum atau "Law enforcement" (Barda Nawawi Arief,2005 : 126).  

G.P. Hoefnagels yang memberi makna criminal policy dalam berbagai pengertian, seperti ungkapan bahwa the science of criminal policy is the science of crime prevention, criminal policy as a science of policy is part of a larger policy : the law enforcement policy. G.P. Hoefnagels memberikan beberapa pengertian mengenai "criminal policy" atau kebijakan kriminal. Beliau melihat kebijakan kriminal ini dari berbagai sudut pandang, di antaranya:

  1. "The science of criminal policy is the science of crime prevention" (Ilmu kebijakan kriminal adalah ilmu pencegahan kejahatan) Artinya Kebijakan kriminal pada dasarnya adalah upaya yang sistematis dan ilmiah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Ini berarti kebijakan ini tidak hanya berfokus pada penindakan setelah kejahatan terjadi, tetapi lebih kepada langkah-langkah proaktif untuk mencegah terjadinya kejahatan di awal.

  2. "Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy : the law enforcement policy" (Kebijakan kriminal sebagai ilmu kebijakan adalah bagian dari kebijakan yang lebih luas: kebijakan penegakan hukum) Artinya Kebijakan kriminal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan penegakan hukum secara keseluruhan. Kebijakan penegakan hukum mencakup berbagai aspek, mulai dari pencegahan kejahatan, penindakan, hingga pemulihan korban. Kebijakan kriminal sendiri lebih spesifik, yaitu fokus pada upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui berbagai cara, seperti membuat undang-undang, penegakan hukum, dan program-program rehabilitasi.

Hoefnagels ingin menyampaikan bahwa kebijakan kriminal adalah sebuah upaya yang cerdas dan terencana untuk mencegah dan mengurangi kejahatan di masyarakat. Upaya ini tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan upaya penegakan hukum yang lebih luas.

Criminal policy atau kebijakan kriminal, seperti yang dijelaskan oleh G. Peter Hoefnagels, merupakan organisasi rasional dari respons sosial terhadap kejahatan. Hoefnagels mengidentifikasi bahwa kebijakan kriminal memiliki empat dimensi utama, yaitu : 

  • kebijakan kriminal sebagai ilmu respons terhadap kejahatan.
  • Sebagai ilmu pencegahan kejahatan.
  • Sebagai upaya mendefinisikan perilaku manusia sebagai tindakan kriminal.
  • Sebagai totalitas respons rasional terhadap kejahatan. Dengan demikian, kebijakan kriminal tidak hanya mencakup upaya hukuman, tetapi juga pencegahan dan rehabilitasi.

Lebih lanjut, kebijakan kriminal dibagi menjadi dua pendekatan, yaitu penal (hukuman) dan non-penal. Pendekatan penal fokus pada penerapan sanksi pidana berdasarkan hukum pidana. Kebijakan ini mencakup strategi bagaimana hukuman digunakan untuk memberikan efek jera, rehabilitasi pelaku, atau perlindungan bagi masyarakat. Misalnya, kebijakan tentang hukuman penjara, denda, atau hukuman mati sebagai respons terhadap tindak pidana tertentu. Penal policy memastikan bahwa penerapan hukum pidana dilakukan secara efektif dan adil. 

Menurut Hoefnagels, kebijakan penal berfungsi untuk:

  1. Memberikan efek jera kepada pelaku dan calon pelaku kejahatan.
  2. Melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pelaku kejahatan.
  3. Menegakkan norma hukum dengan konsekuensi yang tegas bagi pelanggar.

Sebaliknya, mengenai kebijakan non-penal dalam skema "Criminal Policy" oleh G. Peter Hoefnagels,  berfokus pada upaya preventif untuk mencegah terjadinya kejahatan tanpa bergantung pada pemberian hukuman pidana. Dalam konteks ruang publik di Indonesia, kebijakan non-penal sangat relevan, mengingat kompleksitas sosial, budaya, dan ekonomi yang memengaruhi kriminalitas. Pendekatan ini mencakup program-program sosial, pendidikan, kebijakan kesejahteraan, dan peningkatan kesadaran masyarakat.

Kebijakan ini bertujuan untuk:

  • Menghilangkan akar penyebab kejahatan (misalnya kemiskinan, pengangguran, atau ketimpangan sosial).
  • Meningkatkan peran masyarakat dan institusi sosial dalam menciptakan lingkungan yang mendukung norma hukum.
  • Meminimalkan peluang kejahatan melalui pembangunan fasilitas umum yang aman dan kebijakan tata kota yang baik.

Peter Hoefnagels menekankan bahwa kebijakan kriminal yang efektif harus mengintegrasikan pendekatan penal dan non-penal. Di Indonesia, hal ini menjadi diskursus yang penting karena hanya mengandalkan pendekatan penal (misalnya hukuman penjara) sering kali tidak cukup untuk mengatasi masalah kejahatan. Pendekatan non-penal menawarkan solusi jangka panjang dengan mengatasi akar penyebab kejahatan. Sebagai contoh Tingginya tingkat pengangguran di Indonesia sering kali menjadi faktor pemicu kejahatan ekonomi seperti pencurian atau penipuan. Kebijakan non-penal, seperti pelatihan kerja dan subsidi usaha kecil, dapat menjadi solusi preventif dan Penyalahgunaan narkoba dapat dicegah melalui program rehabilitasi dan kampanye anti-narkoba yang melibatkan komunitas. 

Berdasarkan hal tersebut di atas secara skematis G. Peter Hoefnagel memberikan gambaran :

Criminal law, penal policy, criminology, dan non-penal policy merupakan empat elemen yang saling melengkapi dalam sistem kebijakan kriminal untuk menangani kejahatan secara komprehensif. Criminal law atau hukum pidana menjadi landasan utama yang menetapkan perilaku mana yang dianggap melanggar hukum, sekaligus menentukan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Melalui hukum pidana, negara diberikan legitimasi untuk menegakkan keadilan, menjaga ketertiban, dan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat. Hukum pidana juga menjadi panduan bagi kebijakan penal dalam merancang hukuman sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan.

Penal policy adalah kebijakan yang berfokus pada penerapan hukum pidana, termasuk bentuk hukuman seperti penjara, denda, atau hukuman mati. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan efek jera, melindungi masyarakat, dan merehabilitasi pelaku kejahatan. Dalam hal ini, penal policy berperan sebagai respons langsung terhadap tindak kejahatan. Namun, untuk membuat kebijakan penal yang efektif, perlu adanya kontribusi dari criminology, yaitu ilmu yang mempelajari kejahatan secara lebih luas, termasuk penyebab, dampak, dan solusi pencegahan. Kriminologi memberikan wawasan akademis dan ilmiah, seperti bagaimana faktor sosial, ekonomi, atau budaya memengaruhi tingkat kejahatan, sehingga dapat membantu merancang hukum pidana yang relevan dan adil.

Sementara itu, non-penal policy berfungsi sebagai pendekatan preventif yang tidak mengandalkan sanksi pidana, tetapi lebih menitikberatkan pada pencegahan dan pemulihan melalui kebijakan sosial, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat. Misalnya, program kesadaran hukum, pemberian lapangan kerja, atau pembangunan infrastruktur yang aman menjadi bagian dari kebijakan non-penal. Pendekatan ini melengkapi penal policy dengan mengatasi akar masalah kejahatan dan menciptakan lingkungan sosial yang kondusif.

Keempat elemen ini saling terhubung dan tidak dapat berdiri sendiri. Criminal law memberikan dasar hukum, penal policy mengimplementasikan sanksi, criminology memberikan analisis mendalam tentang kejahatan, dan non-penal policy menawarkan solusi preventif untuk mencegah terjadinya kejahatan di masa depan. Dalam sistem kebijakan kriminal yang efektif, integrasi antara keempat elemen ini sangat penting untuk menciptakan keadilan, keamanan, dan ketertiban sosial yang berkelanjutan.

Skema "Criminal Policy" di ruang publik Indonesia berdasarkan dimensi kebijakan kriminal dari G. Peter Hoefnagels:

1. Sebagai Ilmu tentang Respons terhadap Kejahatan

Dimensi ini menekankan pentingnya merancang respons yang sistematis dan terorganisasi untuk menangani kejahatan. Di Indonesia, respons terhadap kejahatan terbagi menjadi dua jalur utama, yaitu formal dan non-formal:

  • Respons formal melibatkan institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakatan. Proses ini bertujuan memastikan keadilan ditegakkan berdasarkan hukum yang berlaku.
    Contoh: Penanganan tindak pidana terorisme, yang melibatkan kerja sama antarinstansi seperti Densus 88, kejaksaan, dan pengadilan, dengan dasar hukum yang jelas.

  • Respons non-formal melibatkan komunitas lokal, lembaga adat, dan tokoh masyarakat dalam menyelesaikan konflik atau kejahatan tertentu. Model ini sering diterapkan dalam kasus-kasus ringan yang dapat diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan atau musyawarah.
    Contoh: Penyelesaian konflik agraria di beberapa daerah yang melibatkan mediasi oleh pemuka adat atau tokoh masyarakat.

2. Sebagai Ilmu Pencegahan Kejahatan

Dimensi ini berfokus pada langkah-langkah strategis untuk mengurangi peluang terjadinya kejahatan sebelum tindakan kriminal terjadi. Pencegahan kejahatan di Indonesia dilakukan melalui tiga pendekatan utama:

  • Edukasi masyarakat: Pemerintah bersama lembaga non-pemerintah aktif memberikan penyuluhan dan pendidikan publik untuk meningkatkan kesadaran hukum dan etika sosial.
    Contoh: Kampanye anti-narkoba oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang dilakukan di sekolah-sekolah dan komunitas.

  • Pemberdayaan ekonomi dan sosial: Upaya ini ditujukan untuk mengatasi akar penyebab kejahatan, seperti kemiskinan dan pengangguran, yang sering menjadi pemicu tindak kriminal.
    Contoh: Program UMKM pemerintah untuk memberdayakan masyarakat miskin sebagai langkah pencegahan kejahatan ekonomi seperti pencurian atau perampokan.

  • Penguatan infrastruktur hukum: Penegakan hukum preventif, seperti operasi lalu lintas atau patroli keamanan, berfungsi untuk mencegah potensi tindak pidana.
    Contoh: Razia kendaraan bermotor untuk mencegah tindak kriminal seperti pencurian kendaraan atau pelanggaran lalu lintas.

3. Sebagai Alat untuk Menentukan Perilaku yang Dapat Dianggap Kejahatan

Dimensi ini menyentuh aspek normatif, yaitu bagaimana negara menentukan jenis-jenis perilaku yang dianggap melanggar hukum dan merugikan masyarakat. Penentuan ini dilakukan melalui legislasi yang sesuai dengan perkembangan sosial, budaya, dan teknologi.

  • Implementasi di Indonesia: Hukum pidana di Indonesia diatur melalui KUHP dan berbagai undang-undang sektoral yang spesifik, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
    Contoh: Dalam konteks kejahatan siber, pasal-pasal di UU ITE menetapkan ujaran kebencian, penipuan daring, dan peretasan sebagai bentuk kejahatan baru.

  • Tantangan: Penentuan jenis kejahatan harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebebasan individu dan perlindungan masyarakat. Isu seperti kriminalisasi penghinaan pemerintah atau privasi di ruang digital menjadi perdebatan di ruang publik.

4. Sebagai Totalitas Respons Sosial yang Rasional terhadap Kejahatan

Dimensi ini menggambarkan keseluruhan upaya sosial yang terorganisasi untuk menangani dan mencegah kejahatan secara komprehensif. Pendekatan ini mencakup kolaborasi antar berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta.

  • Kolaborasi antarinstansi pemerintah: Penanganan kejahatan sering kali membutuhkan sinergi antara berbagai lembaga.
    Contoh: Kasus perdagangan manusia ditangani oleh kepolisian, Imigrasi, dan Kementerian Sosial untuk memberikan perlindungan kepada korban.

  • Peran masyarakat sipil: Organisasi masyarakat dan media massa berperan besar dalam mengadvokasi korban dan menekan pihak berwenang untuk bertindak lebih efektif.
    Contoh: Gerakan sosial seperti "Save KPK" yang mengadvokasi pemberantasan korupsi di tengah isu pelemahan lembaga tersebut.

  • Pendekatan restoratif: Pendekatan ini semakin populer di Indonesia untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu, terutama yang melibatkan anak atau pelaku dengan tingkat kejahatan rendah.
    Contoh: Dalam kasus pidana ringan seperti pencurian kecil, restorative justice melibatkan dialog antara pelaku, korban, dan komunitas untuk mencapai penyelesaian yang adil.

Mengapa kebijakan kriminal diperlukan?

  1. Mencegah Kejahatan
    Kejahatan menciptakan kerugian bagi individu dan masyarakat. Kebijakan kriminal dirancang untuk mengurangi peluang terjadinya kejahatan melalui pendidikan, pemberdayaan, dan penguatan hukum. Contoh: Kampanye anti-narkoba bertujuan mencegah generasi muda terjerumus dalam penggunaan zat berbahaya.

  2. Menjaga Ketertiban Sosial
    Tanpa aturan, masyarakat akan rentan terhadap konflik dan kekacauan. Kebijakan kriminal menciptakan batasan yang jelas antara perilaku yang dapat diterima dan yang tidak. Contoh: Undang-Undang Lalu Lintas untuk mengatur keselamatan pengguna jalan.

  3. Melindungi Hak dan Kepentingan Publik
    Kebijakan ini memberikan perlindungan hukum bagi korban dan memastikan pelaku kejahatan bertanggung jawab atas perbuatannya. Contoh: Hukum pidana yang melindungi perempuan dari kekerasan seksual.

  4. Memperkuat Keadilan Sosial
    Melalui kebijakan kriminal, negara dapat memastikan bahwa semua warga negara diperlakukan secara adil, tanpa diskriminasi, dalam penegakan hukum. Contoh: Program restorative justice yang mengutamakan pemulihan daripada hukuman berat untuk kasus ringan.

Bagaimana kebijakan kriminal diterapkan di Indonesia?

  1. Melalui Legislasi
    Pemerintah menyusun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum untuk menentukan perilaku yang dianggap kejahatan dan sanksi yang menyertainya. Contoh: Revisi KUHP yang disesuaikan dengan kebutuhan modern, seperti kriminalisasi peretasan dan ujaran kebencian di dunia maya.

  2. Penegakan Hukum Formal
    Institusi penegak hukum (polisi, kejaksaan, pengadilan) memainkan peran penting dalam menegakkan aturan. Contoh: Operasi penertiban miras ilegal oleh kepolisian untuk menjaga ketertiban.

  3. Pendekatan Preventif
    Mencegah lebih baik daripada menghukum. Oleh karena itu, langkah preventif dilakukan melalui edukasi, patroli keamanan, dan kampanye kesadaran publik. Contoh: Penyuluhan bahaya cyberbullying di sekolah-sekolah.

  4. Kolaborasi dengan Masyarakat Sipil
    Pemerintah bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, lembaga adat, dan tokoh masyarakat untuk memperluas jangkauan kebijakan kriminal. Contoh: Keterlibatan lembaga adat dalam menyelesaikan konflik agraria di pedesaan.

  5. Pemanfaatan Teknologi
    Dalam era digital, kebijakan kriminal juga menggunakan teknologi untuk mendeteksi, mencegah, dan menindak kejahatan. Contoh: Penggunaan sistem e-tilang untuk pelanggaran lalu lintas berbasis CCTV.

  6. Pendekatan Restoratif
    Pendekatan ini digunakan untuk menyelesaikan kejahatan ringan dengan memprioritaskan dialog dan pemulihan harmoni sosial, daripada menghukum pelaku secara berat. Contoh: Restorative justice pada kasus pencurian kecil di komunitas lokal.

Daftar Pustaka

Kenedi, H. J. (Tahun). Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia. Bengkulu: IAIN Bengkulu Press 

Faozi, S. (2021). Politik sosial dan politik kriminal penanggulangan COVID-19. Dalam Proceeding SENDIU 2021 (hal. 660). Universitas Stikubank. ISBN: 978-979-3649-72-6 

Rahman, F. Z. (2022). Penerapan kebijakan penal dan non penal dalam UU No. 6 tahun 2018 pada kasus joki vaksin dan joki karantina (Tesis, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun