Peter Hoefnagels menekankan bahwa kebijakan kriminal yang efektif harus mengintegrasikan pendekatan penal dan non-penal. Di Indonesia, hal ini menjadi diskursus yang penting karena hanya mengandalkan pendekatan penal (misalnya hukuman penjara) sering kali tidak cukup untuk mengatasi masalah kejahatan. Pendekatan non-penal menawarkan solusi jangka panjang dengan mengatasi akar penyebab kejahatan. Sebagai contoh Tingginya tingkat pengangguran di Indonesia sering kali menjadi faktor pemicu kejahatan ekonomi seperti pencurian atau penipuan. Kebijakan non-penal, seperti pelatihan kerja dan subsidi usaha kecil, dapat menjadi solusi preventif dan Penyalahgunaan narkoba dapat dicegah melalui program rehabilitasi dan kampanye anti-narkoba yang melibatkan komunitas.Â
Berdasarkan hal tersebut di atas secara skematis G. Peter Hoefnagel memberikan gambaran :
Criminal law, penal policy, criminology, dan non-penal policy merupakan empat elemen yang saling melengkapi dalam sistem kebijakan kriminal untuk menangani kejahatan secara komprehensif. Criminal law atau hukum pidana menjadi landasan utama yang menetapkan perilaku mana yang dianggap melanggar hukum, sekaligus menentukan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Melalui hukum pidana, negara diberikan legitimasi untuk menegakkan keadilan, menjaga ketertiban, dan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat. Hukum pidana juga menjadi panduan bagi kebijakan penal dalam merancang hukuman sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan.
Penal policy adalah kebijakan yang berfokus pada penerapan hukum pidana, termasuk bentuk hukuman seperti penjara, denda, atau hukuman mati. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan efek jera, melindungi masyarakat, dan merehabilitasi pelaku kejahatan. Dalam hal ini, penal policy berperan sebagai respons langsung terhadap tindak kejahatan. Namun, untuk membuat kebijakan penal yang efektif, perlu adanya kontribusi dari criminology, yaitu ilmu yang mempelajari kejahatan secara lebih luas, termasuk penyebab, dampak, dan solusi pencegahan. Kriminologi memberikan wawasan akademis dan ilmiah, seperti bagaimana faktor sosial, ekonomi, atau budaya memengaruhi tingkat kejahatan, sehingga dapat membantu merancang hukum pidana yang relevan dan adil.
Sementara itu, non-penal policy berfungsi sebagai pendekatan preventif yang tidak mengandalkan sanksi pidana, tetapi lebih menitikberatkan pada pencegahan dan pemulihan melalui kebijakan sosial, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat. Misalnya, program kesadaran hukum, pemberian lapangan kerja, atau pembangunan infrastruktur yang aman menjadi bagian dari kebijakan non-penal. Pendekatan ini melengkapi penal policy dengan mengatasi akar masalah kejahatan dan menciptakan lingkungan sosial yang kondusif.
Keempat elemen ini saling terhubung dan tidak dapat berdiri sendiri. Criminal law memberikan dasar hukum, penal policy mengimplementasikan sanksi, criminology memberikan analisis mendalam tentang kejahatan, dan non-penal policy menawarkan solusi preventif untuk mencegah terjadinya kejahatan di masa depan. Dalam sistem kebijakan kriminal yang efektif, integrasi antara keempat elemen ini sangat penting untuk menciptakan keadilan, keamanan, dan ketertiban sosial yang berkelanjutan.
Skema "Criminal Policy" di ruang publik Indonesia berdasarkan dimensi kebijakan kriminal dari G. Peter Hoefnagels:
1. Sebagai Ilmu tentang Respons terhadap Kejahatan
Dimensi ini menekankan pentingnya merancang respons yang sistematis dan terorganisasi untuk menangani kejahatan. Di Indonesia, respons terhadap kejahatan terbagi menjadi dua jalur utama, yaitu formal dan non-formal:
Respons formal melibatkan institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakatan. Proses ini bertujuan memastikan keadilan ditegakkan berdasarkan hukum yang berlaku.
Contoh: Penanganan tindak pidana terorisme, yang melibatkan kerja sama antarinstansi seperti Densus 88, kejaksaan, dan pengadilan, dengan dasar hukum yang jelas.Respons non-formal melibatkan komunitas lokal, lembaga adat, dan tokoh masyarakat dalam menyelesaikan konflik atau kejahatan tertentu. Model ini sering diterapkan dalam kasus-kasus ringan yang dapat diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan atau musyawarah.
Contoh: Penyelesaian konflik agraria di beberapa daerah yang melibatkan mediasi oleh pemuka adat atau tokoh masyarakat.