Dalam ilmu hukum pidana, sebuah tindakan hanya dapat dianggap sebagai tindak pidana apabila memenuhi dua elemen utama, yaitu actus reus dan mens rea. Actus reus merujuk pada elemen fisik dari suatu kejahatan, yang meliputi perbuatan jasmani atau tindakan nyata yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini mencakup tindakan langsung seperti pencurian, kelalaian seperti tidak merawat anak yang membutuhkan, atau keadaan tertentu seperti mabuk di tempat umum. Elemen ini menitikberatkan pada aspek perbuatan lahiriah yang dapat dilihat atau dirasakan sebagai wujud nyata dari pelanggaran hukum.
Namun, tindakan fisik semata tidak cukup untuk membuktikan kesalahan seseorang dalam hukum pidana. Dibutuhkan elemen kedua, yaitu mens rea, yang merujuk pada niat atau keadaan batin pelaku saat melakukan tindak pidana. Mens rea menekankan bahwa pelaku memiliki kesadaran atau kehendak yang disengaja dalam menjalankan perbuatan tersebut. Misalnya, dalam kasus korupsi, pelaku memiliki niat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan wewenang. Selain itu, mens rea juga mencakup kelalaian atau ketidakpedulian yang disengaja terhadap kemungkinan konsekuensi yang dapat terjadi akibat tindakannya.
Kombinasi dari kedua elemen ini, yang dikenal dengan prinsip "actus non facit reum nisi mens sit rea" (perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali disertai dengan niat yang salah), menjadi dasar dalam menentukan seseorang bersalah dalam hukum pidana. Dengan kata lain, hukum pidana tidak hanya melihat apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga mempertimbangkan motivasi atau keadaan mental yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah proses hukum, kedua elemen ini harus dibuktikan secara jelas dan meyakinkan agar dapat dijadikan dasar dalam memberikan vonis bersalah kepada pelaku tindak pidana.
Melalui pemahaman akan konsep actus reus dan mens rea, keadilan dalam hukum pidana dapat tercapai. Pendekatan ini memastikan bahwa seseorang tidak dihukum hanya karena tindakan yang tidak disengaja atau tanpa adanya kesalahan mental. Dengan demikian, hukum pidana tidak hanya menjadi alat penghukuman, tetapi juga mencerminkan prinsip keadilan dan kehati-hatian dalam menilai suatu perbuatan.Â
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh Indonesia, di mana praktik tersebut telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam upaya memberantas tindak pidana ini, teori hukum pidana yang diperkenalkan oleh Sir Edward Coke, yaitu actus reus dan mens rea, menjadi konsep yang sangat penting untuk dipahami. Teori ini menjelaskan elemen-elemen yang diperlukan untuk menentukan kesalahan dalam tindak pidana. Dalam konteks korupsi, teori ini membantu mengidentifikasi what (apa) yang dilakukan pelaku, why (mengapa) mereka melakukan tindakan tersebut, dan how (bagaimana) tindakan tersebut dapat dihukum secara hukum. Di Indonesia, teori ini diterapkan dalam banyak kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk kasus besar yang melibatkan korporasi seperti Kasus Proyek E-KTP.
Pemahaman Actus Reus dan Mens Rea Menurut Edward Coke
Edward Coke, seorang tokoh hukum Inggris yang hidup pada abad ke-16 dan ke-17, dikenal sebagai salah satu bapak hukum pidana modern. Konsep-konsep yang ia kemukakan, termasuk actus reus (perbuatan yang melanggar hukum) dan mens rea (niat jahat atau kesalahan mental), menjadi dasar dalam sistem hukum pidana banyak negara, termasuk Indonesia. Â
Teori yang dikembangkan oleh Sir Edward Coke menyatakan bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dikatakan terjadi apabila terdapat actus reus dan mens rea. Actus reus adalah elemen fisik dari kejahatan, berupa tindakan nyata yang melanggar hukum, seperti memberikan suap, menerima gratifikasi, atau mengatur proyek secara tidak sah. Sementara itu, mens rea adalah elemen mental yang menunjukkan niat jahat, kesengajaan, atau kelalaian yang disengaja saat melakukan tindakan tersebut. Prinsip hukum yang mendasari konsep ini adalah "actus non facit reum nisi mens sit rea", yang berarti perbuatan tidak dapat dianggap sebagai kejahatan tanpa adanya niat yang salah.
Dalam kasus korupsi, elemen actus reus sering kali terlihat melalui tindakan fisik seperti manipulasi dokumen, pengaturan proyek secara tidak sah, atau penerimaan uang suap. Namun, tanpa bukti mens rea, yaitu niat atau kesadaran bahwa tindakan tersebut melanggar hukum, pelaku tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, dalam setiap kasus korupsi, jaksa penuntut umum harus membuktikan bahwa tindakan korupsi tersebut dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok, dan tidak hanya sekadar akibat dari kelalaian yang tidak disengaja.
Actus Reus: Elemen Fisik dalam Tindak Pidana
Actus reus merujuk pada elemen fisik dari suatu tindak pidana. Kata "actus" dalam bahasa Latin berarti tindakan, sedangkan "reus" berarti orang yang bersalah atau terlibat dalam suatu kejahatan. Secara sederhana, actus reus adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh seseorang yang bertentangan dengan hukum. Dalam hal ini, hukum pidana hanya dapat menilai seseorang sebagai pelaku kejahatan apabila ada suatu tindakan fisik yang jelas, baik berupa perbuatan langsung, kelalaian, atau keadaan tertentu yang melanggar hukum.