Evolusi teknologi informasi dan komunikasi yang cepat mengantarkan manusia memasuki Era Society 5.0 menuju digitalisasi semua bidang. Era ini diinisiasi oleh Jepang pada Januari 2016 sebagai salah satu strategi pertumbuhan Jepang yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat di mana manusia menikmati hidup secara maksimal dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi.Â
Teknologi 5.0 berpusat pada kolaborasi manusia dengan teknologi Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (Artificial Inteligence/AI), robotika, big data dan blockchain sebagai solusi tantangan sosial di seluruh dunia antara ruang maya dan nyata (Fukuyama, 2018).
Penggunaan AI dalam perawatan kesehatan telah berkembang pesat dan menuai pro kontra di kalangan praktisi kesehatan. Ray Kurzweil memperkirakan AI akan melampaui kecerdasan manusia antara tahun 2040 dan 2050. AI bermanfaat untuk diagnostik penyakit, pengembangan obat, dan pengeditan gen. Contoh lain seperti penggunaan rekam medis elektronik, reminder kontrol,Â
aplikasi pelacakan kesehatan, operasi robotik dan apotek robotik (Shuaib & Arian, 2020). Teknologi digital juga berguna untuk tindakan pencegahan dan pengawasan, seperti aplikasi pelacakan kontak, pemantauan pencarian internet dan penggunaan media sosial. Selain itu, AI dapat dimanfaatkan untuk menjangkau pasien di mana pun seperti telemedicine atau telehealth (Golinelli et al., 2020).
Namun, Ostherr (2020) mengutarakan bahwa AI masih memiliki isu privasi dan kepercayaan data, kumpulan data yang cacat dan bias algoritme, diskriminasi rasial, dan retorika humanisme dan disabilitas. Mitchell (2020) menyebutkan AI tidak memiliki aspek kunci dari pemahaman manusia dan berbahaya jika AI diberi terlalu banyak otonomi, terutama tanpa mengatasi keterbatasannya.
Selama pandemi COVID-19, manusia dipacu untuk mengembangkan teknologi robotik yang dapat menggantikan tenaga kesehatan manusia dalam berinteraksi dengan pasien untuk mengurangi resiko penularan virus. Hal ini memberikan peluang untuk penggunaan remote control robot yang dapat melakukan tugas keperawatan umum di area klinis berbahaya, sehingga meminimalkan paparan petugasÂ
kesehatan untuk penularan dan biohazard lainnya. Beberapa robot yang telah diciptakan antara lain: Sophia (Robot pendamping sosial untuk lansia); Pillo (Pendamping kesehatan bertenaga AI); Robear (a nursing care robot) dan lainnya (Robert, 2019).
 Apakah kebutuhan akan kehadiran dan caring perawat dapat digantikan oleh teknologi robotik?
Berdasarkan uji prototipe TeleRobotic Intelligent Nursing Assistant (TRINA) di ruang simulasi pasien di Duke University School of Nursing, TRINA berhasil menyelesaikan sekitar 60% tugas keperawatan dengan kecepatan rata-rata 20x lebih lambat dari kinerja manusia. TRINA dikendalikan dari jarak jauh oleh operator ahli dalam tugas keperawatan rutin seperti menyajikan makanan, minuman dan obat pasien,
 fungsi ambulasi dan transfer pasien dan alat medis, pembersihan kamar pasien, monitoring lingkungan kamar pasien (suhu dan kelembaban) menggunakan sensor nirkabel, dan mengumpulkan tanda-tanda vital pasien.
 Tugas perawat yang membutuhkan kecekatan dan kecepatan teleoperasi tidak mungkin dilakukan, dan jauh lebih lambat daripada yang dilakukan oleh perawat manusia (Li et al., 2017). Hal ini menunjukkan kemampuan profesional belum dapat digantikan oleh AI.