Oleh : Koko NAAS + Dewi Rahadyan (no : 217)
1982 Tangismu berbuah senyum Senyum para penghuni panggung Kala kau terjungkal ke dunia Saat kau terjebak ke dunia Aku diam
1992… Dunia yang kau kenal Ibu tinggal di rumah ketika bapak pergi bekerja Dunia yang kau kenal Berdoa sebelum makan dan menjelang tidur Pergi ke sekolah dan megerjakan PR di rumah Dan aku masih diam
2002 Semakin jelaslah tingkahmu Seperti kupu-kupu cantik Seperti mawar berseri Hingga dunia mengusirmu Aku benci
2011 Kau kembali ke sini Dengan pandangan yang sama Yang sejak dulu kau pamerkan Aku bingung…
Harum wangi para wanita tak sanggup melunglaikan hati Lelahku mencintai kaum hawa dengan sungguh-sungguh Mugkin tidak akan pernah ada lagi… Rasa Kadang cinta tak berhati, Sering menyakiti Tapi cinta yang sejati antara dirimu diriku Kan abadi selamanya… Walau kau lelaki
Cafe ini menjadi saksi gejolak cinta kita Saling melumat bibir diantara peluh dan hasrat aku akan mati bila tak melihat kepakan bibirmu Rojali… Cahaya bulan yang menembus tirai jendela cafe menjadi pelengkap bisu cinta kita bahwa ada cinta antara kita yang abadi selamanya… Walau kau lelaki
Dulu, kini, dan nanti… “Duhai Rojali tetangga kecilku yang baik hati. Dewasa lalu, tak pernah aku diliputi rasa seperti yang tak bisa diterjemahkan dengan lain kata. Bulan di sebelah kanan, dan matahari di sebelah kiri matamu. Pelangi dengan berbagai macam warna di hidungmu. Kupu-kupu yang selalu mengepakkan sayap di bibirmu ketika kamu berbicara. Terima kasih untuk lumatan bibirmu malam ini. Jangan beritahu ayahku tetang dunia kita”.
Subject Message
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H